Operasi

2.1K 252 36
                                    

Hafsha meminta izin ke sekolah hari ini karena Aqila meminta Hafsha untuk menemaninya menjalani operasi. Entah mengapa, melihat tatapan penuh harap di mata Aqila, Hafsha tidak sanggup menolaknya. Ada ikatan yang Hafsha sendiri tidak paham, yang membuatnya tidak bisa mengabaikan gadis kecil itu. Hafsha juga takut menyesal jika ini akan menjadi permintaan Aqila yang terakhir kalinya. Sebab, seperti yang Hafsha baca dan dengar, setiap operasi pasti memiliki resiko kegagalan. Apalagi, operasi Aqila adalah operasi besar. Operasi di kepala.

Hafsha sampai di rumah sakit ketika Rayyan akan diantar Bude Ratih ke sekolah. Anak laki-laki itu pamit dan menyalami Hafsha dengan sopan. Tinggallah mereka bertiga di kamar Aqila.

Perawat masuk mengantarkan baju ganti untuk Aqila. Hafsha menerima baju berwarna hijau muda itu seraya mengucapkan terima kasih. Setengah jam lagi Aqila harus diantar ke kamar operasi.

"Kita ganti baju dulu, ya." Hafsha berdiri di samping ranjang.

"Ya, Bunda." Aqila menjawab dengan patuh.

Hafsha mulai membuka baju Aqila. Arvan ikut membantu. Setelah itu, Hafsha memakaikan baju khusus untuk Aqila masuk ke ruang operasi.

Hafsha lalu mengambil sisir dan mulai menyisir rambut Aqila yang panjang. Dijalinnya rambut hitam Aqila dengan mata yang kembali terasa panas. Begitu juga dengan Arvan, laki-laki itu menatap pemandangan di depannya dengan hati pilu. Apakah ini akan menjadi saat-saat terakhir untuk anaknya?

Arvan menggeleng. Ia yakin operasi Aqila akan berhasil dan anaknya itu akan kembali sehat seperti sedia kala.

"Sudah cantik. Sekarang mari kita berdoa bersama untuk kelancaran operasi Aqila, juga untuk kesembuhan gadis kecil yang cantik ini." Hafsha mencium pipi Aqila dengan lembut. Satu tetes air mata jatuh ke pipinya.

Aqila meraih tangan Hafsha dan juga menjangkau tangan Arvan.

"Papa, Papa kemarin bilang, akan mengabulkan apapun permintaan Aqila." Aqila menatap Arvan dengan tatapan sendu. Arvan mengangguk.

"Tentu, Sayang. Katakan apa yang kamu inginkan?" Kerongkongan Arvan tercekat.

"Aku minta Bunda Hafsha menjadi Bunda aku dan Rayyan." Aqila menyatukan tangan Hafsha dan Arvan di dadanya.

Hafsha tersentak. Perempuan itu tidak menyangka Aqila akan kembali mengungkapkan hal itu kepadanya dan juga kepada Arvan. Sementara Arvan hanya bisa membeku. Laki-laki itu tidak tahu harus menjawab apa.

Pintu terbuka, seorang perawat masuk membawa kursi roda.

"Kita berangkat sekarang gadis cantik?" Suster Prilia berkata dengan senyum cerah pada Aqila. Aqila menggeleng.

"Tunggu Suster. Aqila baru mau ikut jika Papa dan Bunda Hafsha sudah menyetujui permintaan Aqila." Aqila masih menahan tangan Hafsha dan Arvan di dadanya. Suster Prisilia yang tidak mengerti apa-apa, berdiri di depan ranjang dengan wajah bingung.

"Bunda Hafsha, katakan jika Bunda akan menjadi Bunda Aqila dan Rayyan selamanya." Aqila menatap Hafsha dengan tatapan memohon. Hafsha merasa bumi seakan berhenti berputar.

"Bukankah selama ini Bunda juga telah menjadi Bunda Aqila, Nak?" Hafsha berkata dengan hati-hati.

"Aku tidak mau Bunda Hafsha hanya menjadi Bunda di sekolah. Tetapi, aku juga mau Bunda Hafsha menjadi Bunda aku di rumah dan di manapun aku berada." Suara Aqila sudah bercampur tangisan.

Hafsha mengalihkan tatapannya pada Arvan. Laki-laki itu mengangguk dengan tatapan memohon.

"Baiklah, Nak. Bunda akan menjadi Bunda Aqila dan Rayyan selamanya, di sekolah, di rumah dan di manapun Aqila dan Rayyan berada." Hafsha berkata dengan pipi yang terasa panas. Seperti ada bongkahan batu besar yang terlepas dari dadanya. Seyum indah merekah di bibir merah Aqila.

DITALAK TANPA ALASAN  (JUDUL DI NOVEL UNTAIAN DOA HAFSHA)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang