-¦- -¦- -¦- 16 -¦- -¦- -¦-

39 4 0
                                    

Esok harinya, kebetulan hari sabtu. Sekolahnya libur, dia dengan leluasa bisa pergi sebentar ke Pusat. Akmal di serang, punggungnya terkena ujung celurit, bukan hanya menancap. Malah sengaja di tarik oleh si pelaku. Membuat lukanya semakin parah.

Wahyu meminta izin Ibunya, mengatakan ada barang yang harus dia ambil di Pusat. Serta bertemu teman, Ibunya itu tidak curiga. Hanya berpesan tidak kemana-mana setelah itu. Hari senin dia harus sekolah. Inilah pentingnya menjaga image pada orang tua. Jika saja dia sudah di cap buruk, bahkan meminta izin untuk pergi keluar saja mungkin harus ada perdebatan panjang dulu.

Sejak pagi, pantatnya sudah duduk di kursi metro. Menempuh perjalanan begitu panjang untuk kembali ke Pusat. Sekitar dua kali dia harus naik angkutan umum itu. Di tambah naik angkutan kota yang memakan waktu sekitar sepuluh menit untuk benar-benar sampai tepat di depan rumah sakit yang merawat Akmal.

Dia berlari masuk ke dalam, bertanya pada resepsionis tentang Akmal. Begitu tahu, dia langsung kalang kabut mencari dimana kamarnya berada.

Saat menemukannya, dia langsung di sambut oleh kedua teman lainnya di samping ranjang temannya yang terluka itu. Bersama seorang anak laki lain.

"Wahyu!" seru mereka semua.

Wahyu masuk ke dalam, dia keringatan. Berjalan dengan tatapan kosong. Melihat salah satu temannya terbaring di atas ranjang dengan berbalut perban di tubuhnya. "Mal! Lo---lo ok, kan?"

"Iya---Ssss---nggak papa, lah! Luka kecil, kok!" katanya lemas. Sulit untuk bergerak. Padahal dia ingin duduk tegak, menyambut Wahyu dengan benar.

Salah satu dari mereka maju, itu Rizal. "Gila lo! Langsung ke sini? Sendiri lagi?"

"Langsung gimana? Kalau langsung dari kemarin gue ke sini," ucap Wahyu tidak enak. "Sorry, Mal! Gue nggak ada buat bantuin lo,"

"Nggak papa, Yu! Lo kan di Barat. Wajarlah,"

Pendy di ujung sana bersuara. "Lo bilang apa ke nyokap lo?"

"Ambil barang, ketemu temen,"

Yang lain bicara. Laki-laki itu, Kara. Teman Akmal sejak SD. "Gue nggak nyangka lo bakalan ke sini!"

Wahyu melirik. "Nggak mungkin, lah! Lagian gue rasa gue harus ke sini,"

"Yu! Mending lo duduk dulu, deh!" saran Rizal. Dia menyorongkan sebuah kursi padanya. Dan di terima Wahyu dengan segera. "Dari jam berapa lo berangkat?"

"Tujuh? Delapan? Nggak tahu, pokoknya," jawabnya terbuncah.

Pendy bernapas lega. Matanya berbinar. "Bagus, deh lo dateng. Kita jadi tenang,"

"Siapa yang nyerang lo, Mal?" tanya Wahyu.

Si korban diam. Wajahnya menunjukan rasa tidak yakin. Akhirnya dia mengeleng. "Nggak jelas. Cepet banget kejadiannya. Tapi gue tahu mukanya. Gue rasa tuh orang bukan anak 08,"

"Gimana bisa?" kata Wahyu.

"Gue lagi jalan sama Pendy mau ke warnet. Ya, awalnya biasa. Nggak ada angin nggak ada hujan. Tiba-tiba dari belakang ada yang nyerang gue. Posisinya gue di pinggir, jadi cuman gue yang kena. Pendy jatoh, gue di bacok habis-habisan. Pas gue mau hindar, tuh celurit nancep di punggung gue, trus tuh orang sengaja narik.. Gue jatoh dia langsung kabur pake motor," ungkap Akmal. Dia menunjuk Pendy dengan dagunya. "Si Pendy juga liat kok orangnya. Dan gue yakin, dia bukan dari 08,"

"Gue mikirnya sih begal," sela Rizal. "Tapi, ada rasa curiga juga soal dia ada hubungannya sama si Iksan,"

Wahyu berdecak. "Gue lebih percaya kalau itu dari Iksan,"

How To Meet You [ TAMAT ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang