-lima.

15 3 1
                                    

Nara telat, Dendika telat, mereka telat.

Sekarang nggak ada lagi peti putih berisikan Audirga, yang ada cuma tumpukan tanah yang mungkin udah menimbun Audirga sampai ke bawah sana.

Bahkan, buat yang terakhir kalipun Nara nggak di izinkan untuk bersama sama dengan Dirga.

Sebentar, Dendika menatap ke arah Nara, menautkan jari-jari mereka dan berjalan menuju—

Sesuatu yang Nara gak akan pernah mau sebut.

Rumah baru Dirga.

"Nggakpapa, ayo."

Kalau biasanya Nara harus mengatur detak jantungnya karena sekedar malu bertemu Dirga, kali ini berbeda. Detak jantung Nara gak beraturan karena perasaan takut.

Dia bahkan gaktau selepas ini hidupnya akan jadi seperti apa tanpa Dirga.

Denara hidup karena Audirga, semua yang Denara lakukan saat ini adalah karena Audirga.

Langkah mereka semakin dekat, Nara mengusahakan apa yang ia bisa untuk mengucapkan terimakasih dan sampai jumpa.

Nara mau di atas sana Dirga bahagia, walau Nara gak jamin hidupnyapun akan demikian.

Semuanya terlalu cepat sehingga gak bisa Nara telan begitu aja. Nara bahkan gaktau kesalahan terbesar dalam hidupnya itu apa sampai sampai dia di hukum dengan kehilangan yang tragis seperti ini.

Dirga itu,

Kalau gue kehilangan Dirga, sama aja gue kehilangan mata dan telinga.
Gue gak bisa melihat apapun yang terang, selain gelap gulita. Gue gak bisa mendengar apapun yang indah kecuali cuman dengungan. Semuanya mati, dunia gue mati. Gak ada lagi yang namanya matahari, bulan bahkan bintang. Semuanya kosong.

Lagi. Tepat setelah mereka benar-benar sampai, Nara terjatuh.

Seketika ada hasrat untuk bersama Dirga yang lebih dari apapun, memenuhi Nara sampai ia gak bisa lagi bernafas dengan benar, lehernya tercekat dan pandangannya mulai kabur.

Bahkan wajah tersenyum Dirga yang terpampang di figura besar itu, seakan memberi tau kepada Nara, bahwa Dirga gak mungkin pergi.

Iya, Dirga gak mungkin pergi. Dia selalu ada di hati dan pikiran Nara.

Entah sudah yang keberapa kali adegan ini terputar lagi. Jujur, Nara lelah, matanya seperti benar-benar di bakar, dia mau membangunkan Dirga, mengajaknya pulang dan jadi Dirga yang seperti sedia kala.

Namun apa boleh buat? Nara bukan apa-apa kalau udah takdir yang berbicara.

Manusia itu memang fana, mau Dirga atau Nara semuanya akan di jemput semesta pada waktu yang nggak bisa kita kira-kira.

"Audirga..."

Nara tertunduk lesu, menyembunyikan tangisan yang—

"Kalau lo nangis tapi gak bisa bersuara, itu tandanya lo udah ada di puncak paling menyakitkan."

Nara meraup segenggam tanah yang juga sudah melumuri pakaiannya. Ia meremas tanah itu sekuat mungkin, dalam kepalan tanggannya.

nggak lupa, mata Nara yang berlinang air mata di gunakan untuk menatap foto Dirga dengan sorot paling tajam.

"AJAK GUE KESANA DIRGA!"

Kali ini, Nara merentangkan tangannya, memeluk makam Audirga dengan sekali percobaan.

Untuk yang terakhir, Nara mengizinkan suaranya keluar dan meneriakkan nama Audirga dalam tarikan nafasnya yang tidak beraturan, sebelum pada akhirnya disusul juga dengan suara isakan yang sepertinya akan terus mendominasi hidup seorang Denara.

Semuanya gak cuma sampai disini, akan ada perihal perihal lain yang pastinya tentang Audirga. Selamat ga, mengubah Denara ternyata sia-sia, pada ujungnya juga Denara gak akan ketemu bahagia.

——

24 Desember 2019.

AUDIRGA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang