Kerajaan Majapahit tahun 1360 dalam pemerintahan Hayam Wuruk.
***
Angin bertiup kencang bersamaan hujan deras yang mengguyur Kerajaan Majapahit saat itu. Suasana pun menjadi sangat dingin dan menusuk kulit.
Malam itu pun, di sebuah Padepokan yang berada di dalam kerajaan Majapahit terlihat begitu ramai bahkan Hayam Wuruk pun terlihat berada di sana. Semua tampak bergembira di tengah suasana yang semakin malam semakin mengerikan.
Berbeda dengan suasana ruangan besar yang dihiasi bunga-bunga dan beraroma mawar. Di ruangan Itu tampak dua orang yang tengah bersitegang. Gadis bernama Pitaloka di dalam ruangan itu tengah menatap pantulan dirinya di cermin besar di hadapannya. Di sana juga duduk seorang laki-laki berusia 70 tahun yang menatapnya dengan tajam.
"Pitaloka, Sudah saatnya kau menjadi anak yang berbakti." Suara itu terdengar tegas dan bermartabat, namun Pitaloka tidak menanggapi sedikitpun.
Lelaki itu tampak kesal lalu berdiri mendekati Pitaloka yang masih diam tanpa kata. Lelaki itu menarik dagu Pitaloka secara kasar sehingga mau tak mau membuat Pitaloka menatap Mata Lelaki itu dengan penuh dendam. Lelaki itu kembali berkata, "Bersikaplah dewasa, jika tidak ingin adikmu menderita sepertimu!" Lelaki bernama Adiguna Abimanyu menekan setiap kata yang ia ucapkan tadi.
"Kau pikir aku akan takut?" Pitaloka berkata tenang, suara yang lembut terdengar sangat tegas dan menyakinkan.
Adiguna tersenyum lalu kembali berkata, "Kau harus takut pada ayahmu ini jika tidak ingin adikmu bernasib sama seperti ibumu." Ia sedikit lebih mengancam Pitaloka dengan nada suara yang meyakinkan.
Pitaloka Ayuandini adalah putri pertama dari Perdana Menteri Adiguna Abimanyu. Ketika dirinya berumur 12 tahun, Ibu Pitaloka menderita penyakit aneh yang sangat sulit disembuhkan. Namun Pitaloka yakin, jika ibunya, Ningrum telah diberi racun mematikan. Hal busuk itupun diketahuinya saat tak sengaja dirinya mendengar percakapan antara Adiguna dan tangan kanan Adiguna di ruang pribadi ayahnya saat itu. Pitaloka yang mengetahui sesegera mungkin menyelamatkan ibunya, tetapi terlambat. Ibunya terlebih dahulu meninggal.
Kini, Pitaloka sudah berusia 21 tahun, Dia bukan anak kecil lagi yang bisa dibodohi ayahnya. Ia dipaksa menikah dengan Adipati Padjadjaran yang wajahnya pun ia tidak ketahui. Pernikahan ini bukan murni keinginannya, tetapi keegoisan ayahnya atas harta.
Pitaloka mencengkram tangan Adiguna lalu menarik tangan itu hingga terlepas dari dagunya. Tak sampai disitu, Pitaloka menarik kembali tangan itu ke belakang tubuh pemilik tangan membuat ringisan kesakitan keluar begitu saja dari mulut Adiguna.
Pitaloka tertawa kecil. " Ayah lupa kalau aku bukan Pitaloka 8 tahun yang lalu? Ayah pikir aku akan membiarkan adikku mati di tangan ayah?"
Diam-diam, Pitaloka mengambil pisau kecil yang ia sembunyikan di balik pakaiannya. Pitaloka langsung menggores dengan Adiguna lalu menusuk perut kanan ayahnya dan mendorong keras Adiguna ke lantai. Adiguna meringis sambil menatap Pitaloka.
"K-kau a-akan meny-yesal Pitaloka!" ujar Adiguna terbata-bata.
Pitaloka tidak peduli. Ia melompat ke jendela yang terbuka dan berlari ke belakang kerajaan menerobos derasnya hujan yang mengguyur tubuhnya. Pitaloka terus berlari mengangkat rak pakaian yang mulai terasa berat. Namun tiba-tiba, tubuhnya terasa mulai kaku. Ia langsung teringat dayang yang memberikannya teh sesaat ayahnya datang ke kamarnya, entah apa yang berada di teh tersebut.
Pitaloka mulai merasa gelisah, ditambah lebih dari 10 prajurit mengejarnya di belakang. Ketika melewati danau buatan di dekat kerajaan, kaki gadis itu semakin melemah. Ia terpeleset dan jatuh ke dalam danau, tubuhnya terasa lemas, bahkan untuk menggerakkan sedikit gerakan terasa sulit. Pitaloka tersenyum menatap Awan gelap di atas sana dengan penuh kesedihan. Hatinya kini dipenuhi dengan kemarahan dan dendam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello, Aku Pitaloka [ON GOING]
Historical FictionDILARANG KERAS PLAGIAT DISINI! *** Pitaloka Ayuandini, putri dari Perdana Menteri di Kerajaan Majapahit, melarikan diri dari pernikahan terpaksa dengan seorang Adipati dari Kerajaan Padjajaran. Sayang saat itu, keadaan yang hujan lebat, harus membua...