🕊. ―fifteenth

220 31 8
                                    

Sojung bangun lebih awal satu setengah jam dari biasanya. Dia turun ke bawah sambil membawa beberapa pakaian Seokjin untuk mengajar hari ini. Kakinya melangkah, menuju tempat dimana Seokjin tidur.

Tidak mau berlama-lama, Sojung lantas dengan segera meletakkan pakaian yang ia bawa di meja, lalu berjalan ke belakang untuk membuat sarapan.

Rambutnya diikat ke atas, apronnya terpasang kemudian. Dia membasuh muka dan mencuci tangannya sebentar di wastafel, menenggak satu gelas air putih, setelah itu bersiap membuat bekal makan siang―nasi, capcai dan ayam goreng―untuk Fany dan Seokjin.

Puluhan menit kian berlalu, sekarang Sojung mulai beralih untuk membuat adonan pancake sebagai menu sarapan hari ini.

Satu persatu pancake akhirnya matang, sampai tuangan adonan pancake terakhir Sojung tuangkan, dia bergegas menaruh peralatan yang tadi ia gunakan di wastafel.

Pancake terakhir dia angkat karena sudah matang. Dia menyusun tiga piring memanjang ke samping. Satu piring dia isi dengan tiga susun pancake, sementara dua sisanya dia isi dengan empat susun pancake.

Dia mengambil madu dan buah beri dari kulkas. Dengan hati-hati dia tuangkan madunya di atas pancake, setelah itu dia beri buah beri di atasnya. Setelah selesai, dia meletakkan ketiga piring itu di meja makan bersama dengan dua kotak bekal yang sebelumnya sudah ia siapkan.

Sojung lanjut mencuci bekas peralatan yang ia gunakan. Selanjutnya dia membuat susu, untuk dirinya, juga untuk Fany dengan susu yang berbeda.

Lagi-lagi setelah itu, Sojung menyusun sarapannya di atas nampan bersama dengan segelas susu dan segelas air putih lalu membawanya kembali ke atas.

Tanpa Seokjin tahu, Sojung sudah selesai membuat sarapan dan kotak bekalnya. Tepat sepuluh menit setelah Sojung kembali menutup pintu kamar, Seokjin membuka matanya. Dia duduk dan menyadari bahwa pakaiannya sudah tertata rapih di atas meja. Seokjin sempat mendecak, saat tahu Sojung sampai berbuat seperti ini.

Dia bergegas ke belakang, mencari keberadaan Sojung. Namun yang ia dapati hanya makanan-makanan yang istrinya buat tersaji di atas meja, tanpa wanita itu di ruangan ini.

Well, Seokjin hanya bisa menghela napasnya. Berusaha untuk sabar dan melapangkan dadanya bahwa pagi ini, Sojung masih belum mau ditemuinya.

― ♡ ―

Mungkin tadi pagi Seokjin kalah beruntung dengan Sojung, karena istrinya itu selesai memasak sebelum dia bangun. Tapi malam ini, Sojung yang malah kurang beruntung karena dia terlambat masuk ke kamar sebelum Seokjin pulang.

Tadinya, Sojung akan langsung naik ke kamar tanpa membawa makanannya. Tapi, tangannya keburu dicekal oleh Seokjin.

Sojung pasrah, kali ini dia tidak bisa menghindar.

"Mau sampe kapan?" tanya Seokjin tanpa menatap mata Sojung.

Sojung tak menjawab. Sampai tubuhnya diputar supaya menghadap Seokjin dengan sempurna. "Kamu marah sama aku sampe segitunya? Terus-terusan ngehindarin aku kayak gini. Mau kamu apa?"

Sojung tertawa satu sudut sebelum menjawab dan menatap suaminya. "Masih peduli sama aku? Aku 'kan kemarin udah bilang, nggak usah peduliin aku."

"Mustahil kalau aku sebagai suami, nggak mau peduliin kamu; istrinya, apalagi kamu lagi hamil sekarang," balas Seokjin.

"Lucu kamu, ya. Kamu tau kalau aku hamil, tapi kamu nggak ngeprotect aku apalagi anak yang ada dalam kandunganku."

Seokjin mendecak sebelum menanggapi, "Nggak ngeprotect gimana, sih? Apa lagi yang kurang?"

Lagi-lagi, senyuman satu sudut Sojung berikan. "Aku jatuh, kamu peduli nggak? Kamu nanya nggak gimana keadaan aku, keadaan kandunganku ... nggak sama sekali!"

"Aku salah lagi, 'kan di mata kamu? Kemarin itu aku mau lerai supaya kamu nggak marah-marah lagi sama Fany. Emosi kamu itu berpengaruh buat kandungan kamu―"

"Salah terus di mata aku?" Sojung memotong, dia lagi-lagi tertawa. "Emang bener kamu kayak gitu 'kan? Kamu itu prefer ke Fany dibanding aku dan anakku! ... nggak tau deh setelah anakku lahir, kamu bakal sayang sama dia atau nggak. Kasian ya anakku? Nggak disayang sama ayah kandungnya."

"Sojung, jangan ngomong kayak gitu!"

"Tersinggung," cibir Sojung yang setelah itu menarik tangannya yang dipegang Seokjin. "Udahlah, aku mau balik lagi ke kamar. Kamu makan aja sana sama anak kamu. Panggil dia, anaknya masih ada di kamar tuh."

Sojung berjalan, melenggang meninggalkan Seokjin sendirian. Wanita itu tidak tahu apa yang terjadi pada Seokjin setelah dia menutup pintu kamarnya. Pria itu ... meninju dinding berkali-kali dengan tangannya, sampai-sampai tangannya lebam karena itu.

― ♡ ―

Seokjin kembali mencoba untuk naik dan masuk ke kamarnya. Kali ini ternyata pintu kamarnya tidak terkunci, jadi dia bisa masuk dan sekarang dia melihat Sojung sedang bersandar di kepala ranjang sambil membaca buku.

"Kamu nggak makan?" tanya Seokjin sambil menaruh tas kerjanya di atas meja kerja.

Sojung lagi-lagi enggan menjawab. Tapi Seokjin masih berbaik hati, dia memaklumi istrinya. "Mau aku ambilin terus aku suapin?"

"Nggak perlu!"

"Tapi kasian nanti anak kita, nggak dapet asupan makanan malam," kata Seokjin. "Kalau nggak mau makan, seenggaknya susu diminum. Aku buatin susunya, ya?"

Karena tak kunjung ada jawaban, akhirnya Seokjin menganggap bahwa Sojung setuju dibuatkan susu. Setelah mengganti pakaiannya terlebih dahulu, Seokjin langsung turun kembali ke bawah untuk membuatkan susu.

Tak butuh waktu lama untuk Seokjin membuat susu, sekarang dia malah sudah sampai lagi di kamarnya. Dia mendekati Sojung, menaruh susu di atas nakas yang letaknya di samping wanita itu. Dia juga sengaja duduk di pinggir ranjang dekat Sojung, berusaha menarik perhatian wanitanya dari buku yang ia baca.

"Lagi baca buku apa, sih? Kayaknya serius banget, sampe aku ngomong aja nggak kamu tanggepin," ujar Seokjin.

Sojung menunjukkan cover bukunya pada Seokjin. "Bisa baca sendiri 'kan judulnya apa?"

Seokjin tertawa―menutupi rasa kesalnya karena tidak diperlakukan baik oleh Sojung. "Udahan dulu baca bukunya. Udah malem, sekarang waktunya kamu sama aku."

Sojung menutup bukunya kasar, menatap malas Seokjin usai mendecak diam-diam. "Ngapain sih kamu duduk di sini? Sana ke tempatmu, tidur."

Lagi-lagi, Seokjin berusaha tersenyum. Dia menarik salah satu tangan Sojung, kemudian melihat luka karena pecahan beling kemarin. "Udah sempet dikasih obat merah belum lukanya?"

Sojung menarik kembali tangannya. "Apaan sih, pegang-pegang? Udah sana kamu balik ke tempatmu, aku mau tidur!"

"Sayang, udahan dong marahnya. Aku tuh ngerasa kosong banget kalau kamu terus-terusan marah sama aku kayak gini," keluh Seokjin. "Kita baikan aja, ya? Aku minta maaf."

Sojung menghiraukan segala kalimat Seokjin. Dia menaruh bukunya di samping susu, kemudian merebahkan badannya sambil membelakangi tubuh Seokjin.

Lagi-lagi Seokjin paham, istrinya masih belum bisa diajak berdamai. Entah sampai kapan dia akan begini, tapi Seokjin harap, tidak akan lama lagi.

Sembari tersenyum, Seokjin membelai halus rambut Sojung. "Jangan tidur dulu, susunya diminum dong. Kasian nanti anak kita kelaperan."

"Aku keluar dulu. Kalau kamu nyari aku, aku ada di balkon. Susunya harus habis sebelum aku balik ke kamar, ya?" Seokjin bangun dari posisi sebelumnya. Dia melangkah, berjalan keluar dari kamarnya.

Meninggalkan Sojung, yang sebenarnya diam-diam merasa bersalah sekaligus tidak tega pada Seokjin.

― ♡ ―

A/N:
Kasian ya, Papa―sadboy―Seokjin😢

[2] Emotions; Sowjin Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang