Malang ndak dapek dielak. Untuang ndak dapek diraih. Kata petuah yang terkesan sederhana. Namun, mengandung makna yang luar biasa. Seolah melukiskan sakit yang kini menghantui sekujur tubuh ini. Apa yang aku takutkan sebelumnya, ternyata benar terjadi. Allah seperti mendengar prasangka yang mengusik ketenangan hati. Seolah Dia ingin berbisik dan mengatakan sesuatu padaku. Bahwa Allah sesuai dengan prasangka hamba-Nya. Jika berpikir baik, maka kebaikan yang akan datang. Namun, jika berpikir buruk, maka keburukan yang akan datang.
Serbuan hujan kemarin sore masih menyisakan jejak kenangan. Badan pohon menjadi lembap dan licin, mengandung banyak air. Sehingga menguras tenaga ini dalam memanjat pohon kecombrang.
Aku tak bisa menyeimbangkan tubuh. Ketika tangan kiri mendekap badan pohon, dan tangan kanan meraih buah kecombrang. Tak dinyana, ketika meraih buah untuk yang ketiga kalinya. Kakiku terpeleset hingga terjerembap jatuh ke tanah.
Aku tergeletak tak berdaya ditumpukkan dedaunan. Dengan sekujur tubuh mengerang rasa sakit. Seolah ditusuk ribuan jarum seberat satu ton. Terutama, siku kiriku begitu sulit digerakkan. Seperti ada paku yang tertanam di sana. Sekonyong-konyong batang hidung berbentuk buah jambu itu beriak sendiri. Sebab, sedari tadi menghidu bau menyengat. Anyir. Entah, dari mana sumber asalnya.
Amak yang melihatku tak sanggup untuk bangkit. Tertatih-tatih dalam berdiri, lalu tersungkur kembali. Spontan berlari secepat jet ke arahku. Dengan menerbangkan keranjang yang berisi buah kecombrang di udara. Aku yang melihat itu, berteriak membumbung tinggi, pertanda protes. Akan tetapi, amak seolah tak mendengar seruan ini. Sehingga terpontang-panting dalam menolongku.
"Amak, kenapa dibuang buahnya?" tanyaku seraya mengerucutkan bibir. "Itu 'kan buah kesukaan Candra."
"Tak apa, Nak. Keselamatan dirimu jauh lebih berarti," sahut amak dengan mata mengerjap pelan.
"Akan tetapi, Ata sampai terjatuh seperti ini untuk meraih buah kecombrang itu. Amak malah membuangnya begitu saja," protesku seraya memalingkan wajah.
Mata amak mengerjap pelan. Dengan senyum datar terlukis pada wajahnya. Cukup mengisyaratkan bahwa wanita paruh baya itu tengah diserbu rasa lelah. Seketika semilir angin menyapa raga. Bersamaan dengan bau menyengat itu. Ia kembali mengusik lubang hidungku. Sepertinya amak juga merasakan hal yang sama.
Aku tak kuasa menghidu bau anyir tersebut. Lebih baik menahan napas sejenak dengan mengecutkan hidung. Daripada bau itu mengusik paru-paruku. Lalu membuat diri ini terkapar tak berdaya. Justru menambah beban amak.
Entah, apa yang dipikirkan oleh wanita berkerudung merah itu. Sedari tadi mengitari tubuhku seraya hidungnya mengendus-endus. Agaknya amak tengah meneliti asal bau anyir tersebut.
"Apa yang amak hidu? Bau anyir itu, ya?" tebakku seraya menyeret tubuh ke batang pohon untuk bersandar.
"Iya, Ata. Amak begitu penasaran," ujarnya manggut-manggut.
Aku melambaikan tangan, mengabarkan isyarat. "Amak duduklah terlebih dulu. Amak pasti lelah seharian harus menerobos hutan."
"Iya, Ata. Amak baik-baik saja. Kamu tak perlu khawatir."
Amak menyandarkan tubuhnya di pohon kecombrang, tepat di sebelahku. Lalu jemari amak menempel pada siku kiriku. Amak menatap nanar, seperti ada hal yang mengusik fokusnya.
"Ada apa, amak?"
Aku menoleh ke wanita berkerudung merah itu. Tatapannya masih nanar ke arahku. Apa ada yang salah pada diri ini?
"Astagfirullah, Ata." Amak berteriak tak karuan seraya menatap siku kiriku.
Aku yang terperanjat mendengar pekikan amak. Spontan menoleh dan langsung melihat siku kiriku. Ternyata ada luka yang sudah menganak darah. Akibat terjerembap jatuh dari pohon kecombrang tadi.
"Amak, tak perlu khawatir. Ata baik-baik saja," ujarku, berusaha menenangkan amak.
Amak kian histeris, melihat darah mengenai jemari tanganku. Lalu wanita paruh baya itu terengah-engah berlari ke arah semak-belukar. Seperti tengah mencari sesuatu. Aku berusaha bangkit, menghadang laju kaki amak. Namun, aku kembali terjatuh pada posisi yang sama. Jika seperti ini, bagaimana bisa aku mengejar amak?
"Ke mana amak mau pergi?" teriakku dengan suara melengking.
Amak kian menghilang ditimbun pekat malam. Mungkin wanita itu sedang mencari tumbuh-tumbuhan yang bisa mengobati luka ini. Sementara mulutku berkomat-komat melafalkan doa. Agar amak diberikan kemudahan dan segera kembali dengan selamat.
Sepanjang malam aku menggantung harapan. Agar amak pulang membawa ramuan ajaib. Pelipur lara di tengah badai masalah. Saking lelah diri ini dalam menunggu tanpa kepastian. Belum lagi energi terkuras dalam menerjang rasa sakit. Membuat mataku mudah terpejam mengikuti tarian angin. Terbuai dalam balutan mimpi indah. Sampai-sampai kodok yang nyaring berbunyi di balik pohon kecombrang. Ikut hening dalam menanti kepulangan wanita berkerudung merah itu.
Aku terjaga di tengah langit yang masih dibalut gelap. Ketika bunyi seperti kayu jatuh, mengusik gendang telinga. Aku kira, amak yang pulang mendekap secercah harapan. Ternyata buah kecombrang yang jatuh dari langit. Sampai-sampai daunnya mengenai bahu ini. Tak ada pilihan lain, kecuali kembali menyambung rangkaian mimpi. Ditemani atap langit yang indah dengan hiasan bintang. Hamparan tanah dengan pernak-pernik rumput sebagai alasnya.
***
Mentari pagi tersenyum ceria, menebarkan cahaya bagi semesta alam. Bias sinarnya mengintip di balik ranting-ranting pohon. Membentuk harmonisasi seperti kerlap-kelip bintang di malam hari. Aku mengerjapkan netra secara pelan seraya membetulkan posisi tubuh. Agar terbuai dengan rasa nyaman. Mataku menatap liar ke semua arah, mencari sosok amak. Namun, tetap tak terindra dalam pandangan mata.
Ya Allah, di mana amak? Apa beliau pulang ke rumah menemui Candra?
Aku ingin berjalan, agar bisa kembali ke rumah. Akan tetapi, kaki ini masih terlalu rapuh untuk memangku tubuh. Jangankan untuk melangkah, berdiri tegak saja aku tak kuat. Apalagi luka akibat jatuh kemarin belum kering sempurna. Kulit yang terkelupas masih berwarna putih pucat. Belum tertutup oleh daging yang baru. Sampai kapan aku tergeletak tak berdaya di sini?
"Amak, kemarilah. Aku takut sendirian di hutan."
Aku menjerit, meraung-raung memanggil nama amak. Namun, hanya sia-sia bagai debu yang berterbangan.
Aww!
Rasa nyut-nyutan di siku tangan belum sirna. Mendadak perutku mengerang kesakitan, terasa dibilit rantai besi. Agaknya cacing pita tengah berunjuk rasa. Protes minta diberi asupan. Mengingat dari kemarin mulutku belum sempat menguyah. Sebab, tak ada satu pun makanan yang bisa dijadikan pengganjal lapar.
Aku meraih kayu dengan panjang kira-kira sebesar kaki Abak. Terletak tak jauh dari pohon kecombrang. Aku menekan kayu itu kuat-kuat, hingga diri ini bisa berdiri. Perlahan mulai melangkah walau masih tertatih-tatih. Setidaknya aku tak lagi berada di tempat yang sama.
Tangan kanan berfokus memijak kayu penyangga di tanah. Sementara tangan kiriku sibuk menekan perut. Untuk mengurangi rasa sakit yang kian menggila. Membuat napasku semakin memburu, naik turun tak beraturan. Kepalaku berputar-putar tujuh keliling. Setelah itu, entah apa yang terjadi. Sontak pandangan ini menggelap.
***

KAMU SEDANG MEMBACA
Menggapai Mentari
EspiritualSagata Ankira, seorang gadis pendalaman dari kepulauan Mentawai. Harus bejuang hidup mandiri di usia yang masih belia, umur 12 tahun. Tanpa belaian Amak yang hilang di hutan tanpa menyisakan jejak. Dan Abak yang tak pernah kembali selepas merantau d...