👐🏼

2K 218 9
                                    

"Apa aku tidak bisa menggunakan tangan kananku?" tanya Lucas terlihat pesimis.

"Hyung," Mark menggenggam tangan kanan Lucas.

"Hyung bilang semuanya baik-baik saja." Kata Mark.

Lucas mengangguk, "Pasti akan baik-baik saja." Ucap Lucas berusaha optimis.

-

"Tidak bisa, aku tidak bisa." Ucap Lucas yang meletakkan bola karet seukuran tangannya ke atas meja makan.

"Luke, setidaknya coba dulu." Pinta Jongin meletakkan kembali bola karetnya ke atas tangan Lucas.

Lucas membuang napasnya pelan. "Aku hanya bisa memegangnya, Appa. Aku tidak bisa menggenggamnya lebih dari ini." Ucap Lucas memperlihatkan usaha di depan Jongin.

Sehun yang diam memperhatikan, mengambil bola di tangan Lucas dan memasangkan splint pada tangan Lucas.

Lucas melihat heran Sehun yang sedang memasang splint di tangannya. "Dad, apa ini bisa membantu? Dokter bilang ini efek dari luka ini bukan?" tanya Lucas sambil menunjuk pundak kanannya dengan tangan kiri yang menganggur.

"Setidaknya coba dulu," jawab Sehun tetap memasang splint di tangan Lucas.

Lucas bersandar pada kursi meja makan di belakangnya. "Terima kasih untuk usahanya Appa, Dad." Ucap Lucas mencoba nyaman dengan splint yang dipakainya.

"Aku mengantuk. Aku tidur duluan, selamat malam." Ucap Lucas bangun dari duduknya.

Sehun, Jongin, Mark dan Haechan memperhatikan punggung Lucas yang terlihat tidak bersemangat.

"Lucas hyung pasti kecewa karena tidak bisa bermain basket seperti dulu," ucap Haechan mencoba mengerti Lucas.

-

-

Tak!

Lucas meletakkan pulpen dengan tangan kirinya. "Ini mustahil," ucapnya kesal karena terus gagal mencoba dengan tangan kirinya.

"Lucas, kau tidak mencatat?" tanya guru yang mengajar di kelas Lucas.

Lucas tersenyum sambil menggaruk tengkuknya canggung, "Maaf Ssaem, aku belum terbiasa menggunakan tangan kiri." Jawab Lucas.

"A-ah, iya. Tidak apa," sahut gurunya merasa tidak enak dengan Lucas.

Lucas memberikan senyum maklumnya pada guru dan meminta teman-temannya kembali mencatat karena semua orang di kelasnya melihat ke arahnya saat gurunya bertanya.

"Baiklah. Terimakasih. Kalian bisa istirahat," pamit guru keluar dari kelas Lucas.

"Lucas! Kau mau lihat catatanku?" tanya teman Lucas yang duduk di depannya.

"Yak! Tulisanmu berantakan! Kau bisa lihat punyaku Lucas," tawar yang lain.

Lama-kelamaan meja Lucas di kelilingi teman sekelasnya yang menawarkan buku catatan mereka yang isinya pasti sama.

Lucas tau, teman-temannya ini sedang berusaha menghiburnya. Seharusnya dia tertawa terbahak melihat teman sekelasnya yang berubah seperti fansnya. Tapi, entah. Lucas hanya sedang malas mengeluarkan tawanya sekarang. Dia benar-benar ingin waktu sendirian.

"Terima kasih, aku akan memotretnya saja. Akan ku salin nanti di rumah." Ucap Lucas memotret salah satu catatan temannya.

"Terima kasih! Lebih baik kalian pergi makan makanan kalian." Ucap Lucas keluar dari ruang kelasnya.

Niatnya dia keluar dan makan siang di ruang makan sekolah. Tapi, lagi-lagi, entah. Dia terlalu malas dan melangkahkan kakinya pergi ke rooftop sekolah yang sepi.

Menikmati angin disana sendirian. Membuka splint di tangannya dan mencoba mengepal-ngepal tangannya.

Memandang kosong bukit di belakang sekolahnya yang hijau. Hembusan napasnya terdengar sendat karena menahan tangisnya.

"Kau tidak boleh menyesal Luke," ucapnya pada diri sendiri. Menepuk-nepuk dadanya, menyemangati dirinya sendiri.

"Kau berbuat baik bukan?" lanjutnya masih terus menepuk-nepuk dadanya.

Terdiam sebentar. Kembali memikirkan bagaimana dirinya kedepannya.

"Terlalu terpaku menjadi atlet. Kalau sudah begini, mana bisa jadi atlet?" pikirnya.

"Kalau tau seperti ini, bukankah harusnya waktu itu aku ikut dengan Papa?"

"Berhanti melantur Lucas." Suara seseorang membuat Lucas berbalik melihatnya.

Jungwoo berjalan menghampiri Lucas. Tersenyum manis sambil mengusap-usap rambut Lucas yang sedikit lebih tinggi darinya.

Lucas tidak terlalu menyambut kedatangan Jungwoo. Dia hanya sedang tidak ingin diganggu oleh siapapun sekarang.

"Luke," panggil Jungwoo karena sadar Lucas tidak terlalu nyaman dengan kedatangannya.

"Aku mencarimu daritadi. Aku ingin—"

Lucas membuang napasnya pelan. Membuat Jungwoo menghentikan ucapannya. "Apa hyung bisa pergi?" ucapan Lucas membuat Jungwoo menatap Lucas heran.

Jungwoo tertawa menanggapi Lucas karena dia pikir Lucas sedang bercanda dengan wajah yang sok jengkelnya. "Aku serius." Jungwoo menghentikan tawanya. Ini sudah tidak lucu.

"Kau serius menyuruhku pergi?" tanya Jungwoo meyakinkan. Lucas mengangguk.

"Setelah aku jauh-jauh dari gedung kelasku? Berkeliaran di gedung kelas 10 mencarimu?"

"Ck. Jangan berlebihan hyung." Sahut Lucas tanpa melihat wajah Jungwoo yang kesal dan sedih melihat Lucas yang seperti tidak peduli sama sekali.

Jungwoo masih diam mematung di samping Lucas yang berdiri melamun. "Aku memaklumimu karena aku mengerti mentalmu sedang tidak stabil. Aku mencoba dewasa menanggapinya." Ucap Jungwoo.

"Jangan terlalu ambil pusing karena hal ini. Kau tau kan semua ada jalannya? Kenapa tidak ikuti saja? Basket atau bukan, seorang atlet atau tidak, semua orang pasti akan mendukung semua keputusanmu."

Jungwoo meletakkan kimbap segitiga dan susu pisang di atas tembok tempat Lucas bersandar. "Kau belum makan siang kan? Makan ini. Kau butuh tenaga untuk berpikir dewasa."

Tanpa menunggu kata-kata dari Lucas, Jungwoo segera pergi sesuai permintaan Lucas sebelumnya.

Lucas menopang kepalanya frustasi. Merasa menyesal berlaku kasar pada Jungwoo yang berniat baik.

"Adik kelas! Apa yang tadi itu pacarmu?" tanya seseorang tiba-tiba muncul dari balik tumpukan meja di belakang Lucas.

Lucas melangkah mundur karena kaget ada orang dibalik sana. "Ah. Maaf kalau mengagetkanmu," ucapnya mengangkat kedua tangannya.

"Maaf juga karena aku menguping dari tadi. Bukan salahku, karena aku lebih dulu disini." Lanjutnya mengangkat bahunya malas.

"Sepertinya kau banyak masalah. Aku tidak tau seberapa besar atau berat masalahmu. Tapi sepertinya kau terlalu bingung untuk mengambil keputusan dari masalahmu?" tanyanya sambil meneguk kaleng kola di tangannya.

"Kita ini masih anak-anak. Jangan terlalu ambil pusing. Apa kau sudah merasa dewasa? Merasa harus memikirkan segala hal seperti itu?" tanyanya tertawa remeh.

"Ambil saja keputusan yang kau anggap benar, bocah. Kudengar dari pacarmu kau sepertinya masih punya banyak orang yang akan mendukungmu apapun yang terjadi.

Lebih baik kau masuk ke kelas sekarang karena sebentar lagi bel masuk."

Si kakak kelas tadi melangkah masuk ke gedung sekolah berniat kembali. Lucas masih termenung melihat kakak kelas yang ada di gedung kelas 10 ini. "Oh Iya."

"Urusan menyesal, itu belakangan. Apapun yang kau pilih, pasti ada saatnya kau menyesali itu. Jadi sekarang santai saja sampai rasa menyesal itu datang sendiri." Lanjutnya lalu benar-benar pergi dari rooftop gedung kelas 10. Meninggalkan Lucas yang sibuk mencerna ucapan kakak kelas tadi.

Terdengar seperti omong kosong. Tapi kenapa dirinya sibuk memikirkan omong kosong kakak kelasnya?

Tbc,
1 chap lagi kita 끝 :)

Let's be Happier, (끝)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang