Part 11

463 33 3
                                    

"Pak kita mau kemana?" Tanya supir itu seraya mengendarai mobilnya ke luar dari area parkir yang sepi, suara mesin mobil yang bertenaga menggema di antara gedung-gedung tinggi.

"Kita ke lorong sakura," titah Kai, setelah melihat layar ponselnya yang menyala dengan intensitas cahaya yang lembut. Untungnya, Kai telah meletakkan pelacak di jam tangan kedua putranya, memudahkan untuk melacak keberadaan mereka meskipun saat ini terpisah. Dalam hati, dia merasakan kegelisahan yang mendalam dan berharap kedua putranya dalam keadaan baik-baik saja.

Kai kemudian menelepon anak buahnya, suaranya tegas namun dipenuhi kecemasan saat ia meminta untuk mencari keberadaan putranya, mengarahkan fokus pada posisi Haechan. "Kamu cari putra bungsu saja," perintahnya sebelum mematikan telepon, menatap jalan yang membentang di depan dengan harapan yang tak kunjung padam.

Mobil yang Kai tumpangi melaju dengan sangat cepat, membelah jalan raya yang sepi, menjadikan suasana di dalam mobil terasa kontras dengan ketenangan yang dia tampilkan. Meski wajahnya tampak tenang, sebenarnya ia sangat khawatir dengan keadaan putranya. Di sisi lain, Krystal sangat gelisah, terus-menerus menelpon putra bungsunya, hatinya berdebar kencang, ingin memastikan jika kedua putranya baik-baik saja.

"Haechan, handphone-mu bergetar," ungkap Jeno, memberitahu temannya yang tampak sangat cemas. Tetapi Haechan tidak menjawabnya dia hanya diam dan bingung tentang apa yang harus ia katakan kepada ibunya. Rasa bersalah menyelimuti pikirannya karena Haechan sudah berjanji untuk menjaga kakaknya, namun kini ia merasa telah gagal. Dengan cepat, Haechan meraih handphonenya dan mematikan perangkat tersebut dia tidak ingin mendengar suara panik dari ibunya.

"Haechan, kita sekarang mau kemana?" Tanya Renjun, bingung menentukan arah yang harus mereka ambil untuk mengejar penculik itu.

"Aku juga tidak tahu, kau jalan saja ke depan," jawab Haechan dengan nada putus asa, merasa terjebak dalam situasi yang tak menentu.

"Haechan, kita harus berpikir dengan jernih, kemana kira-kira mereka membawa kakakmu," kata Jaemin, berusaha mengajak teman-temannya untuk berpikir strategis.

"Aku sangat yakin kakakmu dibawa ke tempat yang sangat sepi," timpal Chenle, menambahkan keyakinan yang menguatkan kekhawatiran di hati Haechan.

"Iya, aku juga tahu pasti dia disekap. Tapi, kira-kira di mana mereka membawa kakakku?" kata Haechan frustrasi, wajahnya menunjukkan betapa berat beban yang ia pikul.

"Kalau aku lihat di film-film, biasanya mereka membawanya ke tempat kosong atau tua, jauh dari permukiman warga," ujar Renjun, yang sering menghabiskan waktu menonton film thriller, berusaha memberikan perspektif.

Saat itu, di sisi lain, Mark terbangun dari pingsannya. Ia terkejut saat menyadari tubuhnya terikat di kursi yang dingin dan keras. Dia kini berada di gudang yang suram, dengan cahaya remang-remang yang membuat suasana semakin mencekam. Pria bertopeng mendekatinya dengan langkah tenang namun mengintimidasi, lalu memberikan pukulan keras yang membuat Mark terhuyung.

"Kau pasti orang sama yang disuruh tuanmu itu?" duga Mark, menatap pria itu yang hanya diam, wajahnya tersembunyi di balik topeng gelap.

Dritt...

Suara handphone milik pria itu bergetar, memecah keheningan di ruangan yang dingin. Ia segera meregoh benda pipih itu dan menerima panggilannya. "Jangan menghabiskan waktu, bunuh saja anaknya Kai," suruh suara di seberang sebelum telepon terputus.

"Jika kamu ingin melenyapkan aku, lakukan sendiri! Jangan menyuruh orang lain untuk melakukan ini. Dasar pengecut!" jerit Mark, suaranya menggema di antara dinding-dinding gudang yang sunyi.

"Kita lakukan di mana, tuan?" tanya pria itu, nada suaranya datar dan tidak menunjukkan rasa takut.

"Buang saja dia ke jurang," titahnya sebelum mematikan telepon, meninggalkan Mark dalam kepanikan yang semakin mendalam.

The Strength Of UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang