"Amak ... Amak ...."Entah fakta, atau hanya ilusi alam bawah sadar. Aku mendengar bunyi suara saling bersahutan, memanggil nama Ata. Berkali-kali namaku bergema di gendang telinga. Bersama dengan sentuhan-sentuhan yang menghangatkan tubuh.
Aku merasakan semua perlakuan cinta itu. Indah dan bertabur bahagia. Namun, kenapa mata ini masih terpejam? Sulit sekali untuk menggerakkan kelopak netra. Seperti ada lem yang merekat di sana.
"Ata ... bangunlah!"
Suara yang sama masih mengudara, menuntut diri ini untuk bangun. Aku ingin mengamini permintaannya. Namun, ada bejibun paku yang menusuk kepala. Terasa ingin pecah hingga berkeping-keping. Sungguh, mengusik kinerja organ seluruh tubuh. Membuatku harus terpaku di ranjang kayu buatan Abak.
Sekonyong-konyong, rasa sakit itu terasa lenyap seketika. Tatkala amak datang menebar senyum ketenangan. Tangannya mengelus rambutku secara pelan. Menyemai benih-benih cinta. Lalu mendekap diri ini dengan penuh kehangatan. Sementara abak memangku Candra dalam gendongan. Mengalunkan lagu kasih sayang. Sungguh, kebahagiaan sejati bisa kembali berkumpul dengan amak dan abak.
"Amak!"
"Ata, ini aku, Tami. Tolong, kamu harus bangun!"
Aku mengerjap-ngerjap kelopak mata secara pelan. Alis lentik itu bergerak karena dihempas semilir angin. Pemandangan sekitar mulai tertangkap indra. Segala yang terlihat masih samar-samar, kabur. Benda-benda terasa menari mengikuti alunan angin. Perlahan tetapi pasti, kesadaran diri ini kembali bersatu. Organ tubuh berfungsi dengan normal. Walau kepala dan siku kiriku masih mengerang sakit.
"Tami ...." Aku memanggil lirih wanita berbadan gempal itu. "Di mana amak?" tanyaku diserbu rasa penasaran.
"Candra, Uni Ata sudah bangun. Kemarilah!" teriak Tami. "Candra ...."
"Iya, Uni Tami." Suara anak-anak khas Candra terdengar membumbung tinggi.
Candra berlari terbirit-birit, lalu berhamburan mendekap tubuhku. Napasnya begitu terengah-engah, naik turun seperti role coaster.
"Alhamdulillah, Uni Ata sudah sadar. Aku selalu berdoa pada Allah agar selalu menjaga Uni," ujarnya dengan polos. Akan tetapi, berhasil menyentak ulu hatiku.
"Iya, terima kasih, Adik. Jadi anak yang saleh, buat kami bangga dengan sikapmu," pujiku seraya mengelus rambutnya.
"InsyaAllah. Apa luka Uni Ata masih sakit?" tanya Candra seraya menarik tangan kiriku. Ia mengipas-ngipas luka itu dengan jemarinya. "Biar lukanya cepat sembuh," ujarnya begitu perhatian.
Aku yang menangkap tingkah lucu itu. Hanya bisa mengulas senyum. Sementara Tami tertawa terpingkal-pingkal seraya menekan perut.
"Candra, bantu Uni Tami ambil tempurung yang dikasih Om Ipan tadi," perintah Tami.
Candra mengangguk pelan, mengamini perintah Tami. Kemudian datang mendekap dua tempurung.
"Ini, Uni." Candra menyerahkan tempurung tersebut.
"Terima kasih, Adik ganteng."
"Kapan Om Ipan datang ke sini?" tanyaku dengan penasaran.
"Tadi pagi ketika kamu mengigau memanggil nama ...." Tami menghela napas panjang, lalu membuang ke sembarang arah. "Silakan minum ramuan penguat tubuh dari air perasan kayu jati itu."
Aku meminum ramuan yang diracik Om Ipan. Agar tubuh kembali bugar seperti sedia kala. Setelah itu, Tami mengoles getah talas di lukaku. Agar segera sembuh dan membentuk kulit baru.
"Aku mengingau nama siapa? Amak?" tanyaku seraya mengubah posisi tubuh.
"Kamu jangan banyak gerak, cukup berbaring saja. Jika butuh apa-apa, panggil aku atau Candra." Tami membetulkan posisi tubuhku dengan miring ke samping kanan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menggapai Mentari
SpiritualSagata Ankira, seorang gadis pendalaman dari kepulauan Mentawai. Harus bejuang hidup mandiri di usia yang masih belia, umur 12 tahun. Tanpa belaian Amak yang hilang di hutan tanpa menyisakan jejak. Dan Abak yang tak pernah kembali selepas merantau d...