Kali pertama Jaemin melihat orang itu adalah pada suatu sore di musim gugur; tepat di bawah pohon rindang di tepi suatu jalan yang sepi, jauh dari kerumunan.
Kala itu Jaemin hanya sedang berjalan-jalan; sekedar menghabiskan waktu menikmati sore hari yang tenang, terjauhi dari suara berisik kendaraan dan lalu-lalang manusia.
Pada awalnya pemuda itu tak begitu mengindahkan sosok itu—seorang pemuda bersurai kelam yang tengah bergelut dengan buku sketsa ukuran A3 dan cat air kering— hanya menganggap lalu sebagai sembarang orang yang juga tengah menikmati suasana musim gugur.
Jaemin menikmati suasana sore di sana. Dengan angin sepoi-sepoi dan dedaunan kemerahan yang berjatuhan. Pemuda itu bisa menatap guguran daun yang jatuh dengan anggun, bebas berjalan bahkan berlari di antara tumpukan daun tanpa perlu khawatir menabrak orang. Bebas menendangi dedaun yang ada di bawah kakinya seperti anak kecil—tanpa perlu merasa malu sedikitpun.
Karena yang ada di sana hanyalah ia, angin musim gugur, pepohonan yang mulai melepas dedaunannya satu persatu, dan pemuda itu—pemuda yang terlalu berkonsentrasi pada buku sketsanya tanpa peduli sekitar.
Di hari-hari berikutnya, lagi-lagi pemuda bersurai pirang itu menemukan pemuda asing itu. Masih dengan kuas dan buku sketsa dalam genggaman, juga berkotak-kotak cat air yang diletakan di sebelah kaki-kakinya yang menekuk.
Dan terus seperti itu setiap kali Jaemin melewati jalan itu.
.
.
.
.
.
I see and say nothing—video et taceo.
.
.
.
.
.
Di hari kesembilan musim gugur; kali keenam Jaemin menemukan pemuda itu di sana; Jaemin mulai memperhatikan pemuda itu secara partikular. Memperhatikan bagaimana berkotak-kotak cat air itu tersebar di atas rerumputan dan bagaimana buku sketsa itu terus menerus menerima sepuhan dari kuas yang digenggam oleh jari-jari panjang sang pemuda.
Untuk sesaat ia penasaran, apa yang tengah dibentuk oleh kuas itu. Apalah imaji yang sedang tertuang di atas selembar kertas putih itu.
.
.
.
Di hari ketiga belas di musim gugur; kali kesembilan Jaemin menemukan lagi pemuda itu.
Kala itu langit sudah tersepuh jingga di ujung barat. Matahari siap meloncatkan diri; tenggelam, meninggalkan gelap yang berkuasa.
Jaemin datang terlambat.
Pemuda asing itu telah merapihkan segala peralatan lukisnya. Cat beragam warna telah dimasukan ke dalam kotak-kotaknya, kuasnya juga sudah dibasuh hingga bersih, dan buku sketsanya sudah ditutup. Pulasan cat air di atas kertas putih pun sudah mulai mengering.
Pemuda itu menjinjing segala peralatannya dan berjalan pelan-pelan, mungkin berniat menikmati kedamaian suasana petang.
Mereka sempat berpas-pasan; pemuda itu terus melangkah, dan Jaemin memutar badannya hanya untuk menyaksikan punggung yang semakin menjauh.
Angin musim gugur terus bertiup ketika matahari kian lenyap. Makin kencang dan membawa udara yang semakin dingin.
Satu tiupan dari angin nakal itu menghempas selembar kertas dari buku sketsa yang dijinjing sang pemuda. Kertas putih seukuran A4 melayang di antara angin dan dedauan.
KAMU SEDANG MEMBACA
i see and say nothing [nomin]✔
FanfictionDan segalanya terlambat; tangannya gagal meraih pemuda itu, dan suaranya tak mampu memenuhi udara sore itu. lee jeno x na jaemin warn; bxb, absurd fic