Hilang sudah keleluasaan Nara untuk sekedar berleha-leha. Nara gak habis fikir 'klub baca' ini sama sekali gak seperti namanya.
"Ngapain ngeliatin doang? minggu ini buku-buku banyak yang mau di balikin ke perpus."
Enggak ada Nara yang tengah duduk sambil membaca atau mereka yang bersila dalam satu cerita. Jadwal Rabu dan Sabtu ternyata dipakai untuk ngebabu.
Maklum, semua buku yang mereka taruh disini ternyata supply-an dari perpustakaan universitas.
Sebenernya Nara bisa aja sih mengundurkan diri dari ke anggotaanya, mau di cap gimana ya juga gakpapa.
Cuma memang ada satu alasan, kenapa Nara masih mau bertahan.
Klub baca ini ruangannya kecil aja, gak jauh dari kantin utama FIB, belok dikit udah keliatan. Jadi Nara gak perlu jauh-jauh jalan buat memenuhi keinginannya.
Dibandingkan sama perpus univ, Nara harus jalan sampe ke gedung sebelah. Mager.
Nara menghela nafas, untungnya dia nggak kebagian tugas antar-mengantar, kalau sampai sih ya percuma kan?
Sedari tadi, Nara mencari keberadaan orang yang selama ini di bencinya, siapa lagi kalau bukan si bapak ketua, Audirga.
Nara gak sengaja tau sih, kalau ternyata Dirga itu most wanted, tampangnya emang oke, mana ketua himpunan, pantes aja punya koneksi dimana-mana.
Tapi tetep aja, keren doang mah gak cukup.
Dirga itu anaknya suka marah-marah, mana cuma ke Nara.
Nara bahkan sering banget ribut sama ketuanya itu, masalah yang kecil bisa aja jadi besar. Kebetulan, Dirga suka adu bacot dan Nara gak mau kalah.
"Nara."
Nara baru aja mau rebahan, tapi emang dasar Dirga makhluk sialan, cepet banget perasaan udah nyampe masuk ruangan.
"Apa? Gue udah selesai. Cape."
"Bantuin gue."
"Aduh, temen lo kan banyak."
"Sekali aja ngehargain gue jadi ketua, bisa?"
Nara bangun dari tempatnya, seraya menghentakkan kakinya kuat-kuat. Di lain sisi, Dirga malah senyum senyum sendiri.
"Apasih lo, awas aja ga penting!"
"Anterin gue ke tempat lo makan terang bulan kemaren malem. Gue gak inget jalannya."
"Hah?" Nara membulatkan matanya di kala Dirga cuma menyilangkan tangan di dada, masih setia dengan wajahnya yang sudah berganti arogan.
"Gimana?"
"Lo tau dari ma—"
"udah lah, buruan."
Dia ngikutin gue? Batin Nara.
Buat yang pertama kalinya, Nara makan terang bulan ada temannya. Mereka bahkan gak pisah meja, duduk hadap-hadapan selayaknya pergi makan kalau berdua.
Gak awkard juga.
Ni Dirga kenapa? Kerasukan?
"Lo ga takut malem-malem jalan kaki kesin Sendirian?"
Nara gak jawab, dia cuman sibuk memakan potongan terakhir kue sejenis martabak manis itu.
"Mau gue pesen lagi?"
"Kenyang."
"Kalau gitu besok lagi aja makannya, ajak gue."
Hari itu, Nara gak tau, kalau ternyata Dirga lagi usaha buat kenal Nara lebih jauh.
——
KAMU SEDANG MEMBACA
AUDIRGA
Teen Fiction"Kalau gue kehilangan Dirga, sama aja gue kehilangan mata dan telinga. Gue gak bisa melihat apapun yang terang, selain gelap gulita. Gue gak bisa mendengar apapun yang indah kecuali cuman dengungan. Semuanya mati, dunia gue mati. Gak ada lagi yang n...