Prologue

847 186 181
                                    

Dibawah naungan malam yang tengah diamuk badai dahsyat. Gemuruh guntur datang bersahut-sahutan. Hembusan angin begitu kuat, sehingga membuat pohon-pohon pinus melekukkan batang. Mematuhi arah tujuan angin.

Awan bergerak cepat, menutupi cahaya bulan purnama. Sesekali bulan bisa melepaskan sinar dari pekatnya awan. Membentuk bayangan-bayangan aneh yang berlarian di tanah.

Sebuah rumah tua yang letaknya begitu terpencil di dalam hutan pinus, menghindari keramaian masyarakat. Tetap bertahan pada peradaban, tak terpengaruh akan majunya teknologi yang tengah berkembang pesat, dan menjadi salah satu bidang yang diunggul-unggulkan oleh manusia.

Hanya ada sebuah bohlam lampu berwarna kuning di depan pintu rumah tua tersebut. Sesekali, lampu itu berkedip, sinarnya meredup. Tak cukup untuk menerangi bagian depan rumah.

Tiba-tiba, sosok yang memakai jubah panjang hingga menutupi seluruh tubuhnya, muncul dari gelapnya hutan. Perlahan, ia mendekati rumah tua tersebut. Wajahnya sama sekali tak terlihat di balik balutan pakaian berwarna hitam gelap. Ketika ia telah berada tepat di depan pintu, secara misterius pintu terbuka dengan sendirinya. Sosok tersebut kemudian melangkah masuk ke dalam rumah tua.

"Hai Luiz." Sebuah suara yang menggema, menyapa dari dalam rumah. Bersamaan dengan langkahnya itu, seketika pintu kembali tertutup rapat.

"Emily, memangnya kamu tidak pernah dicurigai tinggal di dalam gubuk reot ini?" Sosok tersebut membuka tudung jubah yang cukup basah, akibat derasnya hujan di luar.

"Hanya sekelompok remaja bodoh yang memaksa untuk menjadikan tempat ini sebagai tantangan uji nyali." Suara yang menggema, tak diketahui dari mana asalnya, kembali menyahut.

"Lalu, apa yang terjadi dengan mereka?" Sosok itu menampakkan rambut hitam mengkilatnya. Menyipitkan pandangannya ke arah kobaran api yang menari di tengah ruangan sempit.

"Tentu saja, kau tahu sendiri, Luiz. Jangan berlagak bodoh." Suara menggema kembali memenuhi ruangan.

Senyum licik mengembang di wajah sosok yang sejak tadi disebut-sebut sebagai 'Luiz'. Iris mata berwarna merah pekatnya berkilat, menampakkan kengerian bagi siapapun yang menatapnya.

"Kau benar-benar berbakat ya, Emily. Aku mengandalkanmu."

"Apapun akan ku lakukan untukmu. Kalau kau mengatakan, bahwa aku benar-benar berbakat, mengapa bukan aku saja yang tinggal disana?" Kini, suara itu tak terdengar menggema lagi. Sosok, yang awalnya transparan, kini mulai menampakkan wujud aslinya. Seorang wanita, dengan rambut berombak merah pekat. Pupil mata yang berwarna coklat, menatap tajam ke arah pria rupawan yang tengah berada di hadapannya.

"Karena tempat itu tak pantas untukmu. Huh, lupakan ... lagi pula, itu sudah sepuluh tahun yang lalu." Luiz melepaskan jubahnya yang basah. Memperlihatkan tubuh yang ditutupi oleh mantel berbulu.

"Baiklah. Aku tak akan mengungkitnya lagi." Wanita berpakaian tunik yang menutupi tubuh hingga lututnya, berbalik membelakangi Luiz.

"Hei, bagaimana dengan anak-anak yang kupinta saat itu?" Perkataan Luiz menahan langkah wanita berperawakan ideal tersebut. Emily terdiam beberapa saat.

"Ada apa? Jangan bilang kau belum mendapatkannya." Nada bicaranya kini seakan mengancam. Wanita berwajah keibuan, yang mulai keriput dimakan usia tersebut memalingkan pandangannya. Kembali menghadap Luiz. Emily menghela nafas cukup panjang.

"Aku sudah mendapatkannya. Tenang saja. Walaupun, sangat sulit, tapi aku masih bisa menemukan banyak yang berbakat di antara mereka." Emily mengungkapkan pernyataan.

"Berapa jumlahnya?" Luiz mengkoreksi.

"Lebih banyak. Sekitar tiga puluh. Kamu mungkin bisa menyeleksi mereka sendiri, mana yang menurutmu pantas untuk mewarisi ilmu hitam." Emily melanjutkan langkahnya, meninggalkan pria yang masih berdiri di ruang tengah dengan kobaran api yang menghangatkan. Emily menghilang di balik dinding.

The Demonic Paradise ✔  [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang