03. Tragedi

305 34 10
                                    

"Adel?"

Gadis itu mendongak, lantas Axel dibuat terkejut tidak percaya. Kondisi Adel jauh dari kata baik. Air matanya mengalir membiarkan noda darah di pipinya, perlahan ikut memudar.

Seragam sekolahnya terlihat lusuh, diikuti dengan rambut yang terlihat acak-acakan. Luka lebam di betisnya, membuat gadis itu merasa sulit melangkah atau bahkan hanya untuk berdiri dengan tegap.

"Adel lo kenapa?" tanya Axel panik.

Air mata gadis itu meluruh, kemudian berujar lirih, "A–-ayah ...."

"Adel! Adel! Astaga!" panik Axel ketika tubuh Adel mulai limbung, dan kehilangan kesadarannya.

Axel menghentikan taksi yang entah kenapa kebetulan sedang lewat, di saat ia benar-benar membutuhkannya.

"Rumah sakit Xarlonion, Pak!" suruh Axel.

Tidak lama kemudian mereka sampai ke rumah sakit, kemudian dengan sigap Adel dibawa ke UGD. Dokter datang memeriksa keadaan Adel.

Dokter itu menghela napas pelan. "Teman kamu hanya pingsan, karena shock," ujarnya kemudian menoleh pada Axel, dengan kening yang sedikit mengerut.

"Apa yang terjadi dengannya, Xel?" tanya dokter itu, yang tidak lain adalah dokter yang merawat Axel selama lima tahun terakhir. Panggil saja dia Dokter Rangga, umurnya 30 tahun.

"Saya nggak tau, Dok," jawab Axel pelan.

Lantas Rangga mengangguk pelan, berusaha untuk mengerti. "Kalau begitu, saya akan obati luka-lukanya dulu, boleh kamu menyingkir sebentar?" anjur Rangga, yang langsung dipatuhi oleh Axel.

Beberapa menit kemudian, Dokter Rangga menoleh pada Axel yang berdiri tidak terlalu jauh darinya. "Sudah saya obati, dia akan sadar tidak lama lagi. Saya pergi dulu," pamitnya ramah.

Axel membalas dengan anggukan pelan, kemudian menarik kursi dan duduk di samping brankar Adel.

"Sebenernya, lo itu kenapa Dell?" tanyanya membatin.

Seketika dia tersentak ketika salah satu jari Adel bergerak pelan, dilihatnya kening gadis itu mengerut dalam, seperti menahan sakit.

"Adel? Adel lo udah sadar kan? Mana yang sakit?" tanya Axel beruntun.

Adel meringis pelan, ia memegangi kepalanya, lalu berusaha untuk bangun dan refleks dibantu oleh Axel. Setelahnya dia memberikan segelas air, pada Adel.

"Cukup?"

Adel mengangguk pelan, Axel meletakkan gelas itu kembali dan mendudukkan diri, sembari menatap Adel.

"G-–gue kenapa?" tanyanya dengan padangan kosong ke depan.

Axel mengerutkan kening. "Gue ... ngerasa sesak, hati gue ... sakit," sambung Adel memberi jeda.

"Tunggu gue panggilin dok—--"

"Enggak!" Adel menggeleng, air matanya perlahan meluruh. Axel lantas dibuat panik. "Adel? Adel, kenapa lo nangis?!"

Adel hanya menggeleng pelan, dan menangis lebih kuat. "G–gue nggak tau ...." isak Adel memukul dadanya yang terasa sesak.

"Kenapa gue nangis?! Kenapa gue nggak bisa berhenti! Da–dada gue sesak, cukup! Kenapa lo nangis Del!!" seru gadis itu menangis meraung, masih memukul dadanya yang terasa sesak memancing rasa iba dari para penghuni bangsal UGD tersebut.

Axel menghela napas pelan ikut merasa iba, dia merengkuh Adel seraya berusaha menenangkan gadis itu. "Sebenarnya apa, yang buat lo kayak gini, Del ...." lirih Axel yang mengusap pundak Adel pelan.

Senandung Kematian [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang