Apakah Takdir Tak Pernah Salah?

5 1 0
                                    

Awalnya kita tak saling mengenal

Laju kita bahkan tidak satu tujuan

Aku dengan tasbih di tanganku

Dan kamu dengan salib di lehermu

Kita tak pernah meminta untuk bertemu

Hingga waktu menuntun di depan masjidku

Di sana aku tak bisa menepi dari hadapanmu

Iya, awal mula pertemuan dua insan yang beda tujuan dalam satu waktu. Saat cuaca mendung masuk waktu dhuhur terkesan begitu asri, angin berhembus menyibak mukena yang dipakai, gadis cantik menyelempangkan sajadah di pundak kanannya berjalan santai melihat langit yang tampaknya ingin menangis. Dia membayangkan apa yang dia lihat bukanlah khayalan, siang itu benar-benar langit teduh apalagi lantunan adzan merdu mengiringi burung-burung yang beterbangan. Semakin lama angin berhembus kencang, Permata sang gadis tersebut berlari sesegera mungkin agar bisa sampai di masjid dengan aman.

"Ya Allah, maaf saya terburu-buru!," Permata tersungkur jatuh di serambi masjid bertepatan dengan turun gerimis. Ada sesuatu yang dia tabrak ketika lari dan terburu-buru melepaskan sandalnya tadi. Permata mencoba menengok ke atas, ternyata tepat di pilar serambi masjid paling luar ada seorang lelaki berdiri dengan kemeja putih dan celana hitamnya, penampilan pria tersebut begitu rapi, bersih dan menyejukkan ketika dipandang. Tidak ada jawaban yang atas permintaan maaf dari Permata, dia mencuci kaki dan tangan menuju dalam masjid dan menggelar sajadahnya.

Permata menjalankan sholat dhuhur berjamaah dan dalam awal shalat hujan turun semakin lebat hingga suara imam dari speaker bercampur dengan suara derasnya hujan. Cuaca siang itu berubah dingin, angin menerobos pintu dan jendela masjid seolah-olah mengiringi mereka shalat.

Selesai menjalankan shalat, masih ada orang yang meneruskan dzikirnya, mengaji, bahkan ada yang duduk santai bersama sambil menikmati suara hujan yang belum reda. Permata menengok keluar masjid, dia melihat hujan masih turun dengan lebat bahkan saking derasnya orang berbicara akan sulit didengar.

Entah karena apa pandangan Permata tertuju di sudut teras depan masjid, di sana dia melihat lelaki yang tadi dia tabrak. Lelaki itu duduk bersila dan menatap lebatnya hujan yang turun. Permata berfikir apakah lelaki tersebut merupakan jama'ah shalat dhuhur yang rumahnya jauh?, sebab Permata tidak pernah melihat lelaki itu di daerahnya sebelumnya.

Rintikan air bertambah deras, bahkan kini kilat dan petir ikut andil mengikuti hujan yang turun dan tidak terasa sudah hampir satu jam hujan bahkan belum ada tanda-tanda akan berhenti. Permata melihat ke halaman masjid dan air sudah mulai naik, jika tidak berhenti kemungkinan besar akan banjir.

"Mohon maaf mas, mari masuk ke dalam masjid di sini dingin!," jamaah lai-laki mengajak lelaki yang duduk di pojok teras masjid untuk berteduh di dalam masjid saja, sebab air mulai membasahi seluruh teras masjid. Lelaki tersebut menurut dan ikut berkumpul dengan orang-orang yang duduk menunggu hujan reda bersama dalam masjid. Mereka nampak bercerita satu sama lain, meski kadang di sahut apa, bagaimana, karena suara hujan yang belum reda. Permata mengamati dari depan ruang jamaah wanita yang langsung tertuju ruang jamaah lelaki tempat di mana para jamaah dan lelaki tersebut berkumpul.

Hujan mulai reda tepat pukul setengah dua siang, semua orang bersyukur "Alhamdulillah akhirnya reda". Bahkan ada yang mendoakan supaya tidak banjir lagi, sebab memang kalau hujan deras daerah tersebut sering dilanda banjir. Ada yang pulang, namun ada juga yang menunggu sekalian untuk sholat ashar. Permata sendiri memutuskan untuk pulang, dia ada janji kepada ibunya membeli gula di kedai dan takutnya nanti hujan deras lagi, nanti kalau tidak hujan niatnya sholat berjamaah lagi di masjid kalau hujan sholat ashar di rumah.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 31, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Izinkan Aku MenduakanMuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang