Degup jantung Irene berpacu. Peluh mulai merambah di sekujur tubuhnya. Ia berusaha menambah kecepatan larinya, mengikuti langkah Thian yang berada sedikit di depannya. Pria itu menggenggam tangan Irene sambil terus memacu kecepatan, menyusuri lebatnya hutan.
"TIDAAAK!!! TOOLOOONG, TOLOONG JANGAN MAKAN AKU."
Pekikan yang memilukan kembali terdengar olehnya. Hati bersikeras, untuk berusaha menolong. Namun, apa daya, raga tak menyanggupinya. Irene hanya memejamkan mata, mendengar jeritan dari arah belakangnya.
"THIAN, IRENE, TOLOONG, TOLONG, To ... arghhh ... "
Sel darah merah memancar dengan kuat ke segala arah. Sebagian, memercik pada pakaian Irene dan Thian. Mengiringi tubuh bagian atas yang terpisah dari bagian bawahnya. Serpihan daging yang melekat pada tulang, tersebar ke segala penjuru. Suara pekikan yang memilukan tak lagi terdengar. Digantikan oleh erangan raksasa yang menikmati santapan dari pemilik tubuh malang.
"Dia menyebut nama kita. Apa tak ada lagi yang bisa kulakukan?" Irene tak kuasa menahan pedih. Pendar matanya mengembunkan lara. Pandangannya pecah, kabur, dan mulai mengeluarkan bulir air. Namun, ia tetap sekuat tenaga mempercepat langkahnya.
Lelaki yang merasa bahwa dirinya diajak berbicara oleh Irene, tak merespons. Thian tetap memacu kecepatannya sambil terus memegang pergelangan tangan Irene.
Di belakang mereka, sosok raksasa manusia yang berukuran sekitar sepuluh meter, juga sedang melangkahkan kaki, menyusul mereka. Jarak sang giant dengan mereka semakin pendek. Langkah monster tersebut terlalu cepat, bagi dua remaja yang mulai berada di ujung tanduk batas kemampuan.
"Tetaplah hidup, Irene," ucap Thian lirih. Ia langsung menarik lengan Irene yang sejak tadi digenggamnya. Mendekatkan wajah Irene pada wajahnya. Sesaat, ia memandang mimik Irene dengan dalam.
"Thian?" Irene tak mengerti.
"Bye." Tatapan tajamnya tak lepas memandangi wajah mungil gadis tersebut. Kemudian, ia melepaskan genggamannya. Mendorong Irene agar menjauh dari tempat itu.
"Apa yang kamu lakukan Thian?"
"Cepat lari, bodoh!" tekan Thian. Nada bicaranya menjadi tinggi, wajahnya memancarkan emosi.
Irene memalingkan wajahnya. Menahan pedih yang lagi-lagi harus ia rasakan. Ia mengerti maksud Thian.
Tak ada sesuatu yang bisa didapatkan tanpa pengorbanan. Huh, sungguh egois.
Meskipun hatinya menolak tuk pergi dari sisi pria itu. Namun, keadaan kian mendesaknya. Irene berbalik, membelakangi Thian yang masih memandanginya. Kemudian, ia berlari menjauh, meninggalkan lelaki tersebut.
"Maaf," lirihnya. Irene mengutuk dirinya sendiri. Namun, tetap menambah kecepatan pada setiap langkahnya. Menembus rimba.
"Gadis tolol." Thian mengembangkan senyum masam. Irene sudah lenyap dari pandangannya, masuk lebih jauh ke dalam rimba.
"Tapi aku menyukainya," lanjutnya. Ia kini membalikkan badannya, menghadap raksasa yang telah berada di hadapannya. Tangannya merogoh sebuah benda yang berada di balik mantelnya. Kemudian, menarik sebuah senapan laras pendek dan langsung mengarahkan bidikannya pada sasaran besar, yang pasti kena. Tak diragukan lagi.
Aku percaya, benda ini suatu saat pasti akan berguna. Untung saja, saat mereka membawaku kemari, mereka tak mengeluarkan benda-benda simpananku. Semoga saja, kau bisa mengulur waktu.
Tangan kirinya mengusap benda yang ia curi sebulan yang lalu. Segera, Thian menarik pelatuk senapan tersebut. Menembaknya berkali-kali ke arah kepala raksasa. Merah darah berbau amis membaur bersama tanaman hijau di sekitarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Demonic Paradise ✔ [Complete]
RastgeleREPUBLISH (tapi belum direvisi hehe) Scolamaginer, merupakan akademi sihir yang mana para siswanya mendapatkan kesempatan langsung diajar oleh iblis tingkat atas. Tak seperti akademi sihir lainnya, Scolamaginer hanya akan menerima sepuluh murid di s...