3. Lightning

253 109 38
                                    

Terkadang, diam itu lebih menyiksa.

"Panggil aku Irene," ucapnya setelah lama saling membisu. Pria yang sedang membenahi pakaiannya tersebut, melirik tajam ke arahnya.

"Aku Eris." Responnya singkat. Irene berusaha menampakkan senyumnya, walau terlihat hambar.

"Salam kenal, Eris. Omong-omong, kemana kamu akan pergi?"

"Apa untungnya jika kamu mengetahui?" Pria itu mendengus tak acuh. Wajah rupawannya terkesan begitu dingin tak berperasaan.

"Tidak. Hanya saja, jika mungkin arah tujuan kita sama, kita bisa pergi bebarengan."

"Kamu sendiri, kemana kau akan pergi?"

Seketika, Irene terdiam.Sorot matanya terkesan mengembunkan lara. Ia sadar, bahwa dirinya tak akan mampu menjawab pertanyaan itu dengan benar.

"Aku ... ingin pulang." Irene berkata lirih.

"Ke kastil iblis, maksudmu?" lontarnya.

"Eh ... i-iya. Kau benar." Irene terkekeh pelan. Meskipun jauh didalam lubuk hatinya, ia tak ingin kembali ke kastil tersebut.

Apa yang aku katakan? Padahal, tempat pulang yang aku maksud bukanlah tempat itu. Tolong lah, siapapun, tolong bawa aku kembali ke duniaku. Aku benci tempat ini!

"Aku tahu jalan untuk sampai kesitu. Tidak cukup jauh dari sini. Mungkin, kalau tadi kamu terlalu jauh masuk ke hutan, kamu tak akan bisa berada di tempat strategis ini." Eris menjelaskan.

Bodoh. Padahal yang membawaku ke tempat ini adalah iblis sialan tersebut. Tolong lah, bawa aku pergi.

Irene terlalu sibuk dengan pikirannya. Ia hanya terdiam tanpa merespons perkataan Eris.

"Bagaimana? Mau kuantarkan?" Melihat Irene yang hanya diam, Eris mengajukan pertanyaan.

"Te-tentu saja. Terimakasih banyak ya." Irene menjawab gugup. Ia masih tak yakin dengan pilihannya. Baginya, tempat itu seperti neraka. Makhluk-makhluk aneh yang menyeramkan, semua berkeliaran bebas disana. Tetapi, mengapa hanya ia yang melihatnya. Sedangkan yang lain, tidak.

"Kenapa? Kau tampak meragukan." Eris memperhatikan wajah mungil Irene yang berusaha menghindari kontak pandangan dengannya.

"Tidak, bukan apa-apa." Irene menggelengkan kepalanya. Bibirnya membentuk lengkung senyum yang sedikit datar.

Eris menatapnya. Iris mata merah menyipit, sedikit memandang aneh pada Irene.

"Kalau kamu tak mempercayaiku, itu sih hal wajar. Dan jika kamu benar-benar menginginkan tuk kembali ke tempat itu, kita harus pergi dari sini. Sekarang," ujarnya tajam.

"Mengapa begitu terburu-buru? Padahal aku baru saja, bisa sedikit bersantai disini."

"Tolol. Sudah banyak vampir lain yang berada disekitar sini. Mereka berbeda, bukan tipe sepertiku. Kamu bisa mati dikeroyok oleh mereka!" tegas Eris. Irene terdiam. Ia masih tak mengerti, mengapa pria tersebut seakan mengkhawatirkan keselamatannya.

Eris berdiri. Ia menatap sekelilingnya dengan waspada. "Ayo pergi!"

"Bukannya semua vampir sama ya? Mereka hanya menginginkan darah manusia dengan cara apapun. Kamu sendiri, apa tujuan kamu menolongku?" Tatapan gadis bermata biru tersebut menyorot pada Eris dengan tajam. Tentu saja, ia tak mempercayai Eris.

Banyak orang yang berpura-pura baik, hanya untuk menarik simpati orang lain. Kemudian, diwaktu yang dirasa tepat, ia akan menjerat orang tersebut dalam arus malapetaka besar tak berujung.

The Demonic Paradise ✔  [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang