dua belas

30 8 16
                                    

Seminggu setelah malam tahun baru hubungan Assa dan Aksa semakin dekat, mereka berdua sering menghabiskan waktu bersama di kostan mau pun saat di luar.

Semenjak Digta lebih mementingkan sahabat-sahabatnya, hubungan keduanya pun mulai renggang. Digta yang belum peka akan kemarahan Assa, dan Assa yang masih mementingkan egonya untuk tak selalu merespon panggilan atau chat dari Digta.

Kini, Assa dan Aksa tengah berada di dalam busway untuk mengambil motor Aksa yang berada di rumah sepupunya. Sepanjang perjalanan mereka tak ada habisnya untuk membahas sesuatu. Seperti hobi Aksa yang suka melukis dan memotret dengan kamera DSLR-nya.

"Masih jauh?" tanya Assa yang duduk tepat di sebelah kiri Aksa, dekat jendela.

"Tinggal dua halte lagi, sabar ya." Aksa meremas tangan kanan Assa yang sedang saling bertaut di atas tasnya.

Assa mengangguk lalu kembali melihat ke arah jalanan Bekasi yang macet seperti Jakarta. Klakson bersautan dimana-mana karena sepeda motor yang selalu menyalip seenak jidat.

-

"Anjay Tiwi! anak sapa lo bawa?" teriak Ikhsan–sepupu Aksa.

Assa menatap heran laki-laki yang berjarak sepuluh langkah darinya. Ia menatap laki-laki itu dan Aksa bergantian dengan dahi mengernyit.

Aksa hanya tersenyum tipis lalu menatap Assa. "Itu sepupuku, yuk!" Aksa memegang pergelangan tangan Assa dan mengajaknya untuk mendekat ke arah Ikhsan yang kini sedang berdiri dengan gaya tengil sambil bersandar di pintu gerbang.

"Anak siapa yang lo culik kali ini, Wi?" tanya Ikhsan sambil bersalaman dan memeluk singkat Aksa.

"Ya anak oranglah, Umar," balas Aksa cuek. "Sa, kenalin ini Ikhsan."

Ikhsan mengelap telapak tangannya lebih dulu di celana bagian bokongnya. "Ikhsan, sepupunya Aksa yang paling ganteng se-Bekasi," ucap Ikhsan dengan cengiran lebarnya dan dengan kedua alis yang dinaik-turunkan jenaka.

Assa tersenyum geli dan membalas jabatan tangan Ikhsan. "Assa."

"Widididih jodoh bener nih kayaknya."

"Apa sih!" Aksa memukul lengan kiri Ikhsan kencang, membuat laki-laki itu meringis kesakitan.

"Masuk yuk, aku kenalin ke Tanteku." Aksa memegang punggung Assa dan tangannya yang lain mendorong Ikhsan, karena laki-laki itu menghalangi pintu gerbang yang hanya dibuka untuk dilalui satu orang.

"Gaya lo, Tiwi! Udah maen aku-akuan aje, kayak orang bener lagu lo!" teriak Ikhsan yang kini sedang mengunci kembali pintu gerbang.

"Nggak usah didengerin. Mulutnya emang kaya petasan banting dia mah."

Assa tertawa geli lalu menganggukkan kepalanya. Aksa mengetuk pintu ruang tamu yang terbuka lebar. "Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam." Suara wanita yang terdengar nyaring itu terdengar, lalu tak lama sosok ibu-ibu yang tengah memakai daster selutut berpotong lengan pendek muncul dari dalam.

"Astaga! Anak bujang baru keliatan!" ucapnya heboh, sambil menepuk tangannya sekali saat sudah melihat Assa dan Aksa yang masih berdiri di ambang pintu.

"Apa kabar, Tante Dwi?" Aksa berjalan menghampiri wanita itu, lalu mencium punggung tangannya.

"Baik-baik. Kemana aja?"

"Enggak kemana-mana, Tante."

"Itu ...," Tante Dwi menggantungkan ucapannya sambil melirik Assa dengan kedua alis terangkat.

Aksa yang paham langsung menggaruk kepalanya. "Sini, Sa. Kenalin ini Tanteku."

Assa mencium punggung tangan wanita yang kini tengah menatap Assa dengan berseri-seri. "Cantik," ucapnya sambil mengelus sisi kiri kepala Assa.

Be With YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang