Mentari pagi mulai menampakan diri hari ini. Hawa sejuk pedesaan selalu mengiringi terbitnya sang fajar setiap hari, memberi tanda bahwa hari baru akan mulai detik itu juga.
"Ayu ayu, bangun, nduk udah pagi ini loh," seorang wanita yang menggunakan pakaian kebaya berwarna coklat tua dengan kemben berwarna hitam yang selalu ia gunakan membangunkan putrinya yang masih berpetualang dalam dunia mimpinya.
"Hmm, bentar buk," itu adalah Ayu. Gadis dengan kulit kuning langsat dan paras manisnya masih saja tertidur walau suara alu dan lumpang yang bertumbuk mulai terdengar.
Sudah menjadi hal biasa di desa ini, walau matahari belum sepenuhnya bangun dari istirahat malamnya, para wanita sudah bersiap dengan alat memasak dan bersiap dengan pekerjaan rumah lainnya.
Ayu mulai menyadarkan dirinya dengan duduk diatas dipan yang beralaskan anyaman dari bambu di atas dipan tempatnya tertidur pulas. Walaupun terasa keras dan tak cukup nyaman, gadis itu tetap selalu merasa senang dan nyaman tidur di atasnya. Pikirnya, lebih baik tidur di atas dipan daripada tidur di atas kapuk para penjajah itu.
Ayu mulai merapikan dirinya, menggunakan kebaya berwarna hitam dengan jarik yang menjadi pakaian bawahnya. Rambut panjang hitamnya ia biarkan tergerai seperti biasa.
"Bapak mana buk?" Ayu menghampiri ibu yang tengah memindahkan beras dari tempat alu ke tempat penyimpanan beras dari tanah liat. Ayu sempat melihat beras persediaan makan mereka, hanya tersisa sedikit dan bahkan hanya cukup untuk makan 3 sampai 4 hari. Padahal itu jatah makan untuk satu minggu.
"Udah berangkat ke pabrik,"
Ayu hanya menganggukan kepalanya. Bapak Ayu memang bekerja di pabrik gula milik Belanda, dan sebelum mentari menyingsing ia harus sudah berangkat menuju pabrik. Kalau tidak, bapak akan bekerja dengan badan pegal-pegal akibat terkena hukuman dipagi hari.
Ayu pergi ke luar rumahnya, sekedar menghirup udara pagi yang masih saja segar walaupun panas matahari sudah lebih terasa. Gadis itu melihat ke sekeliling desa, terlihat biasa saja dan nampak damai. Beberapa anak kecil mulai bermain di jalan yang berupa tanah, seperti ia dulu ketika masih bocah.
Namun terdapat pemandangan yang membuat matanya sakit dipagi hari. Sangat jarang ia melihat orang tinggi berkulit putih di desanya, tapi pagi ini mereka sudah mencemari pemandangan damai di desa ini.
"Buk, ngapain sih, para londo itu ada di sini?" Ayu menghampiri ibuk yang masih disibukan pekerjaan dapur. Mendengar kehadiran para prajurit Belanda itu ibuk langsung nampak cemas, raut wajah tenangnya seolah hilang berganti dengan kegugupan di wajahnya.
"Ngga tau, udah Yu, pintu depan tutup aja, kamu masuk di dalem aja ya nduk," Ayu dibuat heran dengan tingkah ibuk yang tidak biasa. Ibuk bahkan menutup pintu rumahnya yang biasa terbuka sepanjang hari, padahal biasanya ketika maghrib datang ibuk baru akan menutup pintunya.
Ayu hanya diam, mungkin saja ada suatu hal yang tengah mengganggu ibunya saat ini.
Menjelang siang, ibuk meminta Ayu untuk mencari kayu bakar di hutan dekat desanya. Sebenarnya mencari kayu bakar untuk persediaan mereka merupakan salah satu tugas Ayu di rumah. Biasanya gadis itu akan mencari kayu bakar di akhir minggu, dan hari ini merupakan hari dimana Ayu harus mencari kayu bakar di hutan.
Gadis itu pergi bersama Joko, tetangganya yang bekerja sebagai pencari kayu bakar. Setiap hari Joko mencari kayu bakar untuk dijual ke rumah rumah penduduk di desa, paling tidak ia bisa mendapatkan beras atau ubi untuk ia makan bersama ibunya di rumah.
"Kamu ngga mau kerja di pabrik londo aja Ko?" Ayu bertanya di tengah kesibukan mereka mencari kayu bakar.
"Moh lah Yu, aku gak mau jadi budak anjing Belanda itu," Joko selalu ingin berucap kasar jika membicarakan para penjajah itu. Sebenarnya Ayu tak jauh berbeda dengan Joko, gadis itu juga sama bencinya kepada para penjajah bumi pertiwinya ini.
Kebencian Joko bukanlah tak berdasar. Joko mempunyai pengalaman buruk dengan para penjajah itu, bapaknya pernah ditembak mati oleh para prajurit Belanda ketika tengah beristirahat sebentar saat bekerja di pabrik. Padahal para pribumi sudah bekerja sangat keras untuk mereka, tapi yang didapat hanyalah ketakutan dan penghinaan.
Bagi Ayu, para penjajah itu bertindak seolah nyawa manusia ada di tangannya, dengan membawa senapan laras panjang mereka bisa menghilamgkan nyawa siapa saja yang mengancam mereka. Bahkan mereka menembakan peluru ke arah orang tua yang telah renta. Benar-benar memalukan.
"Ayuuu! Ayuuu!" Dari kejauhan Ayu dapat mendengar seseorang memanggil namanya, suara itu terdengar seperti mbak Lastri, tetangga Ayu dan Joko. Ayu melihat mbak Lastri berlari ke arahnya, menghiraukan ranting pohon dan krikil yang mungkin saja dapat melukai telapak kakinya.
"Ada apa mbak?" Tanya Ayu ketika mbak Lastri telah berdiri tepat di depannya. Deru nafasnya tak beraturan, sudah pasti mba Lastri berlari dati desa sampai ke sini. Mbak Lastri terdiam sembari menetralkan nafasnya, sampai wanita itu mengucapkan kabar yang langsung meruntuhkan dunia Ayu.
"Bapak ibuk mu Yu! Mereka sudah meninggal!"
Kabar dari mbak Lastri merupakan petir di siang bolong bagi Ayu. Gadis itu langsung berlari meninggalkan kayu bakar yang telah susah payah ia kumpulkan sedari tadi. Ia berlari dengan telanjang kaki, tidak peduli dengan kerikil, kayu atau apapun yang dapat melukai kakinya. Yang ada di pikirannya hanyalah bapak dan ibuk, Ayu harus segera sampai di rumah.
Rumah Ayu nampak lebih ramai dari biasanya. Warga desa berkerumun melihat dua mayat yang tergeletak sudah tidak bernyawa di sana. Itu adalah bapak dan ibuk Ayu, mereka terbaring dengan dada yang berlubang karena ulah para Londo itu.
"Bapaaak! Ibuuuk!" Ayu menerobos kerumunan di depan rumahnya, ia tak peduli ketika mungkin saja ada orang yang terjatuh karenanya. Ayu menangis sejadi-jadinya melihat keadaan bapak dan ibuk, melihat mereka terbaring dengan pakaian berlumuran darah seperti ini membuat Ayu sangat terluka.
"Bapaak, ibuuuk bangunnn paak, buuk, jangan tinggalin Ayuuu," Ayu memeluk bapak dan ibuknya, sering kali mengguncang tubuh mereka berharap masih ada kesempatan hidup untuk mereka.
"Sabar Yuu, sabaar," salah seorang teman sekaligus tetangga dari ibuk mendekat ke arah Ayu, membawa Ayu ke dalam dekapannya berharap meringankan rasa sakit yang Ayu rasakan. Mereka bersama menangisi orang yang berharga dan sangat dekat dalam kehidupan mereka selama ini.
"Siapa bude, siapa yang udah nembak bapak sama ibuk?!" Ayu melepas pelukannya dari wanita yang ia panggil bude, matanya yang basah menatap sekeliling, berharap ada orang yang mau menjawab pertanyaannya.
"Londo dari Buitenzorg, Yu." Ayu menatap orang yang memberikan jawaban padanya, sekarang Ayu tau apa yang harus ia lakukan. Ayu bersumpah akan pergi ke Buitenzorg, segera.
Bersambung...
Alu dan lesung : alat tradisional penumbuk padi
Moh : ngga mau
KAMU SEDANG MEMBACA
Buitenzorg : 1913✅
Historical FictionSebagai seorang pribumi, Ayu sangat membenci para Belanda. Para penjajah dari Netherland yang hanya dapat memeras, menjajah, dan merendahkan tanah Hindia Belanda. Kebencian Ayu semakin menjadi setelah kematian orang tuanya di tangan tentara KNIL. Ay...