"Kamu yakin Yu mau ke Butenzog?" Joko bertanya kepada kawan sedari kecilnya itu, memastikan apakah Ayu cukup gila untuk pergi ke sana.
Satu bulan setelah kematian bapak dan ibuk, Ayu memutuskan untuk pergi ke Buitenzorg--kota hujan yang terletak cukup jauh dari Jawa. Ayu sudah meyakinkan dirinya untuk membalaskan dendam atas kematian kedua orang tuanya. Ia sudah memutuskan untuk menembak prajurit Belanda yang telah menembak bapak dan ibik dengan tangannya sendiri.
"Bukan Butenzog, Jokoo. Buitenzorg," Ayu membenarkan ucapan Joko yang lidahnya kelu mengucap nama kota dengan curah hujan yang tinggi itu.
"Halah, angel Yu, lidah ku gak lemes gak kaya lidah mu itu. Heh Yu, beneran kamu bakal ke sana?" Pertanyaan Joko hanya dibalas anggukan kepala oleh Ayu. Saat ini pergi ke Buitenzorg merupakan salah satu tujuan hidupnya yang baru.
"Ya wis, Yu. Terserah kamu mau ngapain, sing penting jaga keslametan mu ya Yu," (ya sudah, Yu. Terserah kanu mau ngapain, yang penting jaga keselamatan mu ya Yu) Joko menatap sendu ke arah Ayu. Jujur saja Joko khawatir dengan nasib Ayu di sana, tapi bagaimana lagi, Joko pun tidak dapat meninggalkan ibunya demi Ayu.
"Suwun, Joko. Doain aku ya, semoga aku bisa ketemu sana londo itu,"
Keputusan Ayu sudah bulat. Gadis itu akan menjadi malaikat maut untuk prajurit Belanda itu. Bahkan kalau Ayu harus merelakan hidupnya agar dapat membalaskan dendam, Ayu akan suka rela meregang nyawanya. Asalkan dendamnya dapat terpenuhi.
Ayu sudah berjalan meninggalkan desa, tujuan pertamanya adalah kota. Ayu memang tidak mempunyai uang untuk menaiki kereta ataupun dokar menuju Buitenzorg, tapi ia akan mencari cara agar dapat sampai di sana tanpa perlu bersusah payah berjalan kaki.
Suasana pasar di kota benar-benar ramai. Jujur saja Ayu tidak pernah pergi ke tempat seperti ini sebelumnya. Bisa dibilang, ini kali pertama Ayu pergi ke pasar di kota. Banyak orang kulit putih yang ia temui di pasar, pedagang dengan kulit gelap, ataupun dengan mata sipit juga Ayu temui. Benar--benar pemandangan tak biasa baginya.
Duk
Terlena dengan pemandangan tak biasa membuat Ayu tak berhati hati dalam melangkahkan kakinya. Tanpa sengaja, Ayu menabrak seorang pria dengan pakaian khas Jawa dan blangkon bertengger di kepalanya. Ayu yakin bahwa pria itu adalah seorang priyayi.
"Walaah, bocah gendeng, sakit tau!" Ayu menundukan kepalanya, walaupun ia tetap mencuri pandang melihat pria yang tingkat sosialnya jauh lebih tinggi di atasnya.
"Ngapunten tuan, saya ngga sengaja," Ayu berkata sesopan mungkin. Walaupun ia gadis desa, ia sedikit mengetahui tentang sopan santun dari ibuk yang sering kali mengajarkan tata krama seorang wanita pada Ayu.
Pria itu tampak memperhatikan Ayu dari ujung kepala sampai ke ujung kaki. Seolah terheran dengan penampilan lusuh dan kotor Ayu yang memang sudah beberapa hari tidak mandi.
"Dari desa ya kamu? Mau apa ke sini?" Priyayi itu melipat tangannya di depan dada sembari tetap memperhatikan Ayu yang masih diam menunduk.
Ayu pun menceritakan tujuannya datang ke kota, bahwa ia ingin menuju Buitenzorg. Gadis itu mengatakan bahwa ia butuh pekerjaan yang lebih meyakinkan di sana, sehingga pria itu menawarkan sebuah pekerjaan untuk Ayu. Pekerjaan yang akan membawa gadis itu menuju Buitenzorg.
Priyayi itu mengajak Ayu untuk ikut naik ke atas dokarnya setelah Ayu setuju dengan pekerjaan yang katanya akan membawa ia ke Buitenzorg. Sebenarnya Ayu tidak tau persis pekerjaan yang ditawarkan, yang jelas ia akan segera menuju Buitenzorg. Hanya itu lah yang diinginkan Ayu.
Ketika mengekor di belakang priyayi yang menawarkan pekerjaan untuknya, mereka berpapasan dengan beberapa prajurit Belanda lengkap dengan seragam dan senapan laras panjang yang berada di punggung mereka.
Pria itu mengobrol bersama para prajurit menggunakan bahasa Belanda yang tentu saja Ayu tak mengerti apa yang mereka katakan. Yang jelas, mereka sangat akrab sampai bisa tertawa bersama seperti ini.
"Siapa dia Supardi?" Seorang londo menunjuk Ayu yang dengan beraninya menatap mata prajurit yang melihat ke arahnya. Sontak keempat prajurit yang lain melihat ke arah Ayu, begitu juga priyayi yang ternyata bernama Supardi.
"Waah, gadis yang cantik," salah satu di antara kelima kompeni itu mendekat ke arah Ayu, namun salah satu di antaranya menahan agar pria itu mengurungkan niatnya mendekati Ayu.
"Kita harus bertugas dulu," prajurit yang berhasil menahan temannya mengatakan kalimat tersebut dengan bahasa Belanda yang Ayu tak mengerti. Sepertinya pria itu adalah pimpinan di antara mereka, sehingga ucapannya langsung dituruti oleh prajurit yang hampir mendekat ke arah Ayu.
Belum sempat Supardi menjawab, para prajurit itu pamit untuk kembali menjalankan tugas mereka, mencari para pejuang yang dianggap pemberontak pemerintah Hindia-Belanda.
Supardi berjalan sembari menanyakan beberapa pertanyaan pada Ayu. Seperti nama, latar belakang gadis itu, dan dimana tempat tinggalnya, pertanyaan umum yang biasa ditanyakan ketika hendak melamar pekerjaan.
Sepanjang perjalanan menggunakan dokar Supardi, Ayu hanya diam memperhatikan lingkungan dan pemandangan yang baru pertama kali ia lihat. Di dalam dokar itu pun Ayu tidak sendiri, terdapat tiga gadis lainnya dengan usia yang tak jauh berbeda dari Ayu.
Sebenarnya Ayu ingin bertanya, pekerjaan apa yang Supardi tawarkan padanya, atau bertanya kepada gadis lain di sini siapa nama mereka, dari mana asal mereka, atau mungkin mengapa merka ada di sini. Tapi Ayu tak enak hati karena ada Supardi di dalam dokar yang sama. Ia khawatir Supardi akan merasa tak nyaman sehingga membuang Ayu di jalan sebelum sampai ke Buitenzorg.
Dokar berhenti ketika mungkin sudah 4 jam mereka duduk di dalam. Ayu yang sedari tadi terlelap pun terbangun dan mulai turun dari dokar mengikuti Supardi. Udara dingin dan langit yang mendung menyambut kehadiran Ayu ketika turun dari dokar, bahkan Ayu yang menggunakan kebaya pun masih merasa dingin di sini.
"Nanti kalian akan bertemu orang Belanda, jaga sikap kalian. Dan turuti apa perkataan mereka," Supardi memberikan arahan kepada Ayu dan tiga gadis lainnya. Mereka hanya mendengarkan dan berusaha mengingat apa yang Supardi katakan. Supardi memberikan petuah dan beberapa tata krama dalam bersikap ketika bertemu dengan tuannya nanti.
"Halo Supardi," kegiatan mereka berhenti ketika seorang pria Belanda mendekat ke arah mereka. Pakaiannya rapi dengan kemeja, celana kain dan jas berwarna hitamnya. Tak lupa dasi kupu-kupu yang semakin melengkapi penampilannya.
"Selamat siang meneer Rutger," Supardi segera mendekat ke arah pria Belanda tadi. Sikap Supardi benar-benar tampak seperti sangat menghormati Belanda yang ia panggil tuan Rutger tadi. Percakapan dan gerak gerik mereka pun tak luput dari tatapan Ayu yang penasaran hubungan bisnis apa kedua pria dewasa itu.
"Kita ini mau dijual mbak," Ayu segera menoleh ke sumber suara yang berada tepat di sampingnya. Gadis yang sedari tadi diam sepanjang perjalanan mulai membuka suara.
Bersambung...
Percakapan yang ada orang Belandanya anggap aja bahasa Belanda ya, aku ngga bisa bahasa Belanda soalnya😔
Btw makasih udah baca❤
KAMU SEDANG MEMBACA
Buitenzorg : 1913✅
Historical FictionSebagai seorang pribumi, Ayu sangat membenci para Belanda. Para penjajah dari Netherland yang hanya dapat memeras, menjajah, dan merendahkan tanah Hindia Belanda. Kebencian Ayu semakin menjadi setelah kematian orang tuanya di tangan tentara KNIL. Ay...