04

1.7K 226 14
                                    

Rumah keluarga Waltz berada sedikit di puncak, sehingga sebelum sampai di pasar mereka harus melewati jalan yang menurun dan sedikit licin karena curah hujan yang tinggi.

Ah sungguh Ayu merasa sangat lelah dengan kedua kakinya yang dipaksa terus bekerja. Ayu merasa bahwa kakinya bisa saja lepas jika berjalan lebih lama lagi.

Setelah cukup lama berjalan, Ayu dan Dyah sampai di pasar. Dyah lah yang membeli dan membayar apa yang mereka butuhkan, Ayu hanya mengekor dan membantu Dyah membawa belanjaannya.

Ketika mereka tengah asik berbelanja, beberapa tentara Belanda mengganggu ketenangan Ayu dan Dyah. Mereka berjalan ke arah mereka dengan tatapan menggoda yang sangat menjijikan di mata Ayu.

"Halo pribumi, kalian terlihat sangat cantik," seorang tentara Belanda dengan rambut sedikit coklat membuka mulut kotornya, mengucapkan kalimat menjijikan dari sana.

Dyah merasa cemas, apalagi ia membawa anak baru seperti Ayu yang belum terbiasa dengan tingkah bejat para londo itu. Sebenarnya Dyah sudah terbiasa, entah di rumah ataupun pasar, seolah wanita pribumi merupakan objek fantasi bagi para pria londo yang tersebar hampir di setiap sudut kota.

"Oalah, dasar londo gemblung!" Ayu berucap cukup keras, sampai menarik perhatian beberapa orang di sekitar mereka. Dyah membelalakan matanya melihat tingkah Ayu yang cukup gila dan keren di matanya.

Sedangkan para tentara yang tidak memahami bahasa Jawa hanya diam, saling memandang dengan wajah bingung tertera jelas di wajahnya.

"Apa yang kamu katakan?" Seorang tentara lain di antara tiga tentara Belanda itu bertanya dengan nada suara yang meninggi, seolah sadar bahwa mereka tengah digunjing oleh Ayu.

"Maaf tuan, saya bilang, permisi kami ingin lewat," dengan segera Ayu menarik tangan Dyah dan pergi melewati tiga tentara yang menatap kesal kepada Ayu dan Dyah.

"Gila kamu Yu, bisa-bisanya bilang seperti itu sama mereka," Dyah tertawa sembari sesekali melihat ke belakang, mewaspadai kalau mereka tengah dikejar ketiga kompeni tadi. Sedangkan Ayu hanya mengedikan bahu nya dan tertawa mengingat keberaniannya sendiri.

Jujur saja Ayu merasa lega setelah mengutarakan umpatan kepada para penjajah itu, kata umpatan yang sudah ia siapkan sejak lama. Setelah melihat keberanian Ayu, Dyah mengajak Ayu untuk kembali membeli barang yang belum sempat terbeli. Sekaligus mengenalkan Ayu dengan tempat yang akan sangat sering Ayu kunjungi kedepannya.

Dengan setia Ayu terus mengekor di belakang Dyah, memperhatikan bagaimana Dyah membeli dan berkomunikasi dengan para penjual. Beberapa penjual sudah mengetahui bahwa Dyah adalah budak pelayan di rumah keluarga Waltz, penjual itu adalah para pribumi yang berkesempatan menjual rempah di pasar ini.

Ayu melihat sekitarnya, kagum dengan pemandangan yang belum pernah ia lihat. Pasar yang cukup ramai dengan pemandangan lapangan hijau di depan pasar. Hawa sejuk yang menyelimuti mereka membuat Ayu sedikit betah berada di kota Buitenzorg ini.

Di pasar, sebagian besar pedagang adalah dari pribumi. Namun tak sedikit pula pedagang Cina, India ataupun pedagang yang datang dari Eropa untuk berdagang di Hindia-Belanda. Para tentara berjaga di setiap sudut pasar dengan seragam lengkap dengan senapan laras panjang yang bergantung di bagian punggung mereka.

Sepertinya Buitenzorg merupakan kota yang cukup penting bagi para penjajah ini.

Netra Ayu menangkap dua sosok yang sangat berbeda. Seorang wanita pribumi tua dengan mengenakan kebaya lusuh serta jarik berwarna coklat tua, dan satu lagi seorang pria belanda yang mengenakan kaos dan celana kain santai.

Ayu mengernyit menatap kejadian langka yang tak pernah terlihat sebelumnya. Londo itu tersenyum dan menatap lembut pedagang pribumi di depannya. Selagi tangannya sibuk bekerja mengangkat kotak-kotak besar kayu yang berisi penuh sayur mayur milik wanita pribumi tua itu.

"Makasih ya le, sudah bantu saya, angkat barang ini, geger ku ini udah pegel banget angkat ini, hehe," pribumi itu tersenyum. Mendongak menatap pria Belanda yang jauh lebih tinggi darinya. Ayu tertegun menatap mereka. Apalagi senyuman tulus yang wanita tua itu tunjukan, membuat Ayu seketika teringat mendiang ibunya dahulu.

"Ah, tidak, aku hanya melakukan kewajiban ku," Londo itu tersenyum. Mata biru yang teduh semakin nampak menawan dengan tatapan tulus dan senyum manis yang terukir di paras tampannya. Entah apalagi yang mereka bicarakan, Ayu tak mendengarkan. Ia hanya tertegun dengan hal aneh yang baru saja dilihatnya.

Kedua bola mata hitamnya terus tertuju pada Londo yang kini juga tengah menatap ke arah Ayu. Sepertinya pria itu sadar tengah diperhatikan. Pria dengan rambut coklat dan mata biru itu menatap bingung ke arah Ayu. Tatapan hangat yang sangat berbeda dengan para Belanda yang baru saja Ayu temui tadi.

Ayu sadar dan segera memutus kontak mata dengan pria tinggi tegap yang berdiri tak jauh darinya. Ia menoleh mencari Dyah yang entah dimana keberadaannya. Sepertinya Ayu tertinggal oleh Dyah karena sibuk sendiri. Ayu memutuskan untuk berjalan lagi, sembari mencari Dyah yang mungkin menunggu di depan sana.

Ayu melangkah melewati pria Belanda yang masih menatapnya. Netra gadis itu mencuri pandang ke arah Londo saat ia hendak melangkah melewati pria Belanda itu.

"Tunggu!" Londo itu menahan tangan kanan Ayu yang tengah membawa keranjang dari bambu yang sudah terisi sayuran di dalamnya. Ayu menoleh ke arah pria Belanda tadi, mengernyitkan dahinya dan menatap tak suka. Ayu menarik tangannya dengan kasar, membuat pria Belanda tadi sedikit tersentak.

"Heh! Kamu gendeng ya?! Berani-berani nya pegang tangan ku sembarangan. Dasar gak sopan! Memang ya, semua Londo sama aja!" Bentak Ayu. Suara gadis itu membuat beberapa pasang mata menoleh ke arahnya. Terkejut dengan suara bentakan Ayu yang tiba-tiba. Begitu juga dengan Londo yang tersentak dengan ucapan Ayu baru saja.

Pria Belanda dengan mata biru teduhnya dan rambut coklat yang sangat cocok di parasnya terdiam. Ia menatap aneh Ayu yang masih terlihat marah. Sebenarnya, pria Belanda itu tidak ada sama sekali niat jahat pada Ayu.

"Ayu! Ayo pulang!" Teriak Dyah. Mendengar suara yang sangat dikenal, Ayu menoleh ke arah sumber suara yang ternyata tak jauh darinya.

Segera, gadis itu mengangguk dan langsung berjalan menuju Dyah. Sebelum benar-benar pergi, Ayu kembali menatap Belanda mata biru yang juga menatap ke arah matanya.

"Ook al staart hij me sindsdien aan," (padahal dia yang dari tadi menatap ku) ucapnya. Pria Belanda itu tersenyum, dengan kedua bola mata birunya yang terus menatap Ayu.

•••

"lama kalian! Apakah kalian adalah mata--mata para pribumi kotor itu?!" Sesampainya Ayu dan Dyah di rumah, Nyonya Cornelia langsung mengucapkan kata-kata amarahnya kepada Ayu dan Dyah.

"Maaf nyonya, saya hanya mengajak Ayu untuk mengenal pasar nyonya, kami tidak ada hubungan apapun dengan pejuang pribumi," Dyah menundukan kepalanya lebih rendah lagi, memohon ampun kepada Belanda yang tengah menjajah saudara sebangsa mereka.

Ayu hanya diam, ia merasa heran dengan Dyah yang mau melakukan hal tersebut seolah kedudukan pribumi lebih rendah daripada kaki para penjajah. Jujur saja, Ayu benci dan jikik pada dirinya sendiri karena tengah mengabdi kepada seorang Belanda.

Ayu dibuat terkejut ketika nyonya Cornelia menarik rambut Dyah sehingga membuat wanita itu tersentak dan menahan perih di kulit kepalanya.

"Dasar pribumi rendahan! Saya tidak menyuruh kamu mengenalkan pasar pada Ayu!" Nyonya Cornelia melepas cengkraman tangannya dengan kasar. Tatapannya beralih kepada Ayu yang tampak terkejut dengan perlakuan majikan barunya.

"Ini peringatan pertama untuk kamu, Ayu! Kalau besok kamu berani melanggar perintah ku, kamu akan bernasib lebih buruk dari Dyah!" Nyonya Cornelia berlalu meninggalkan Ayu dan Dyah yang masih terduduk di lantai dapur rumah keluarga Weltz ini.

Bersambung...

Buitenzorg : 1913✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang