02

8 3 1
                                    

Make Your Day | 02


Flashback on

Gue sampai di tempat janjian kita kira-kira sepuluh menit sebelum waktu yang dijanjikan. Gue memegang erat amplop coklat besar yang udah lumayan kusam sambil sesekali menengok kanan kiri, antisipasi kalau dia tiba-tiba datang.

Udah lewat lima belas menit, dia juga belum datang. Apa memang dia nggak berniat menemui gue? Apa segitu nggak maunya dia duduk berdua sama gue untuk beberapa jam aja?

Gue masih terus memeluk amplop itu sambil berusaha mengatur napas karena gue benar-benar deg-deg an sekarang. Sampai akhirnya dia datang menghampiri meja gue sambil berlari-lari kecil.

Entah sejak kapan, tapi yang terakhir gue ingat, Bani sangat nggak suka sama orang yang nggak tepat waktu, maka dari itu gue tumbuh mengikuti dia, menjadi orang yang sebisa mungkin nggak pernah telat ketika janjian sama orang lain. Tapi melihatnya sekarang yang telat hampir setengah jam membuat gue tersadar kalau ya, semua orang bisa berubah,

termasuk Bani.

Dia duduk dikursi yang ada didepan gue sambil menyeka dahi nya yang berkeringat. "Maaf ya aku telat, tadi ada kerjaan yang nggak bisa ditinggal."

Aku.

Aku, dia bilang.

Gue nyaris aja tersenyum sarkas—senyum yang biasa gue berikan pada diri sendiri setiap sadar kalau gue selalu dengan mudah jatuh karena Bani. Tapi gue memilih mengangguk tanpa ekspresi.

Bani pun memesan secangkir kopi panas. Dia meminumnya perlahan lalu menatap gue. "Apa kabar, An? Aku kaget kamu tiba-tiba hubungin aku setelah sekian tahun."

Gue tersenyum tipis, sambil terus berucap dalam hati kalau gue nggak boleh nangis, nggak ketika dihadapan Bani. "Aku baik-baik aja. Kamu sehat?"

"Aku juga baik, An. Masih sama aja kaya dulu."

Haaaahhhh, bohong. Kelihatan jelas dari matanya kalau ada sesuatu yang dia sembunyikan, tapi gue nggak bisa menebak apa itu.

Gue hanya mengangguk sebagai jawaban, lalu dia bertanya lagi, "Kamu nggak pesen apa-apa?"

"Nggak usah, aku nggak lama." Gue mencoba untuk biasa aja, jangan sampai Bani mengira gue kangen sama dia atau semacamnya. Bani pun mengangguk dan duduk dengan tegak, tanda kalau dia siap mendengarkan gue.

Amplop besar yang daritadi gue peluk, gue serahkan ke dia, tanpa bicara apa-apa. Dia menerima nya dengan tatapan bingung, mungkin dia kesulitan menebak apa isinya.

Seolah tahu isi pikiran Bani, gue dengan datar berkata, "Itu surat, untuk kamu."

Bani seketika makin bingung, dia mengarahkan tangannya untuk membuka amplop itu dan gue langsung menghentikannya. "Jangan baca sekarang. Baca aja waktu kamu lagi sendiri."

"Kenapa?"

"Pokoknya jangan baca suratnya di depan aku." Gue menghela napas panjang, bersiap bicara lebih panjang, "Amplopnya besar karena isinya ada banyak. Udah aku tulis dari hari pertama sejak kamu bilang mau menyudahi semuanya. Isinya kira-kira ada tiga ratus jadi nggak akan cukup waktunya kalau kamu baca sekarang."

Ekspresi Bani semakin nggak bisa gue pahami. Dia seperti bingung.... terus berubah lagi jadi sedih.

Gue nggak ingin berlama-lama sama dia, bisa gagal semua usaha gue selama ini. Gue bangkit dari kursi, ngambil tas, bersiap untuk pulang.

Make Your Day | Kim DoyoungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang