Part 19. Rasa yang aneh

107 13 0
                                    

"Serasa patah dalam tubuh, di dalam kalbu ada yang bergemuruh,"

_Bara_

Di balik jendela yang tembus pandang,
Ada bayangan yang mondar-mandir seperti sedang memikirkan sesuatu, tak lain bayangan itu adalah Cahaya yang seminggu terakhir ini tidak menemukan Bara bahkan kini ia benar-benar ketinggalan berita tentangnya.

Namun Cahaya tidak pernah segelisan ini ketika lost kontak dengan Bara, ia pasti akan berpikir bahwa akan bertemu Bara di tempat lain. Ini tidak, bahkan ia tak napsu makan beberapa hari ini.

"Cahaya, nak kamu makan dulu ya. Dikit aja, ibu takut nanti kamu sakit," sapa Desril membawa nampan yang berisi sarapan dan segelas susu hangat dan ia letakkan di atas meja bundar di sudut kamar.

Menggeleng pelan, Cahaya membuat Desril membuang napas kasar. Ia berjalan cepat duduk di samping dan membelai pundak Cahaya.

"Apa susahnya makan sih nak? Udah tiga hari lo kamu gak makan," ucap Desril dengan nada memelas.

"Ma, Cahaya gak laper kok. Nanti kalo laper, pasti Cahaya bakalan makan," sahut Cahaya yang kedua tangannya di pegang Desril.

Desril tak habis pikir dengan sikap anak gadisnya itu, biasanya dia ceria bahkan bersenandung setiap pulang sekolah dan merangkulnya hangat setiap lembur kerja. Sedikit senyuman pun tiada di bibir mungil milik anak gadisnya hanya sebuah urungan yang nampak jelas di mukanya.

"Kamu itu selalu beralasan, mana sama lagi alasannya dari kemaren. Sekarang gak ada toleransi! Hayok makan, mama suapin apa makan sendiri," tegas Desril sedikit memaksa.

Mengangkat sendok tang berisi nasi beserta cuilan lauk di sodorkan ke mulut Cahaya yang tertutup rapat, ia membentur-benturkan ujung sendok itu pada mulut Cahaya supaya terbuka. Mulut itu terbuka, di masuki sesuap nasi dan di kunyahnya lama sesekali melamun.

Mungkin harus menunggu seabad lagi untuk memberikan suapan kedua pada Cahaya, kunyahannya lama dan tak kunjung habis di dalam mulut namun Desril tetap sabar memberikan suapan keduanya.

Sepiring nasi habis di lahap pelan-pelan, berganti susu yang mendingin yang menghangatkan tubuh Cahaya di pagi hari. Desril meletakkan itu kembali ke meja lalu ia mendekatkan jaraknya hingga tubuhnya menempel di punggung Cahaya.

"Hmm kayaknya anak gadis mama yang cantik ini banyak masalah, coba cerita siapa tau mama bisa bantu," ucap Desril melipat tangannya di depan dada.

"Gimana aku ceritain, pasti aku di ejek mama dan bilang kalo aku ini sedang jatuh cinta. Apalagi aku cuma pengikut misterius bahkan Bara pun gak ngerti," gumam Cahaya dalam hati.

"Enggak kok ma, cuma lagi gak mood aja," elak Cahaya singkat.

"Gak cerita gak papa, yang penting anak gadis mama jangan bersikap seperti ini ya. Jangan bikin mama Khawatir," tutur Desril berdiri mengambil nampan di atas meja dan beranjak pergi meninggalakan Cahaya.

Cahaya mendongak ke arah pintu melihat jejak mamanya yang baru saja pergi meninggalkannya lalu kembali duduk di atas kasur, ia meraih satu foto Bara yang berhasil ia ambil kala itu dengan pose kesukaanya padahal Bara sendiri tidak sadar bila di foto dari jauh.

"Tampan," gumam Cahaya sambil tersenyum kecil.

"Jatuh cinta itu biasanya bahagia, bersenandung ria kesana kemari. Menebarkan bahagia namun kenapa aku malah sedih kayak gini, intinya rindu banget," monolog Cahaya memeluk foto Bara.

"Karena kamu gak bertemu," sahut Gabril yang tak sengaja lewat kamar Cahaya dan mendengar gumamanya

Gabril berjalan masuk kamar duduk di samping Cahaya, dengan manja Cahaya meletakkan kepalanya di dada bidang Gabril. Seakan dia pernah seperti itu pada Bara meski itu tidak pernah terjadi.

"Kamu tau jatuh cinta itu apa nak?" Tanya Gabril membelai rambut Cahaya pelan.

"Ketika kita merasakan hal yang berbeda di dalam hati, dan ketika berjauhan rindunya akan menyiksa diri," jawab Cahaya mendongak ke arah Gabril.

"Betul, kamu kan sedang berjauhan dengan orang yang kamu cintai jadi wajar saja menyedihkan," sahut Gabril mencolek hidung Cahaya.

"Kenapa aku bisa cinta padanya pah? Padahal aku hanya iseng mengikutinya karena menurutku kemisteriusannya merupakan suatu tantangan untukku untuk mengetahuinya," Tanya Cahaya yang menumpahkan segala keluh kesahnya pada Gabril.

"Dari jalan mengikutinya itu dirimu mulai membuka hati, dari terbiasa menghasilkan nyaman. Nyaman yang semakin terbiasa menjadi sayang dan sayang yang semakin besar itu menjadi cinta," tutur Gabril merangkul Cahaya hangat.

Anggukan kecil tanda mengerti terlihat dari gerakan kepala Cahaya, ia tampak memikirkan sesuatu yang sudah terlewat atau bisa di sebut masa lalu sambil menepis-nepis dahinya kecil.

"Anak papah udah besar ternyata, udah bisa ngerasain jatuh cinta. Jangan nakal ya," umpat Gabril memencet hidung Cahaya.

"Gak kok pah," sahut Cahaya tersenyum kecil dan mengangkat kepalanya dari dada bidang milik Gabril.

Gabril pergi hendak meneruskan perjalannya menuju ke dapur, Cahaya kembali sendiri di dalam kamar dan kembali memikirkan Bara. Ia khawatir dan sangat resah sebab keberadaanya tidak dapat di lacak, bahkan ia rasa semkain jauh jaraknya dengan Bara.

Menyambar jaket tipis dan tas kecil, Cahaya menuruni tangga hendak mencari keberadaan Bara. Berdiam di rumah bukan solusi yang baik, ia akan terus mencari hingga ketemu atau setidaknya tau di mana Bara berada.

Tepi jalan raya asing atau tidak pernah Cahaya lewati sebelumnya sangat ramai, para pedangang berjajar berjualan di pinggir jalan. Tanpa sengaja ia melihat Bara sedang berjualan apel dan anggur disitu, dengan meja kecil yang berisi dua keranjang dengan buah yang masih penuh.

Rasa ibanya muncul, ia menghentikan mobilnya dan turun menghampiri Bara.

"Permisi, apa benar dengan Bara adi cahyana?" Sapa Cahaya memandangi wajah Bara lekat.

"Benar, ada urusan apa?" Jawab Bara dingin.

"Saya mau membeli semua apel dan Jeruk, ini uangnya dan berikan apel dan jeruk itu pada anak jalanan yang sering berlalu lalang," siruh Cahaya menyodorkan uang dari sakunya. Berbalik badan dan pergi melajukan mobilnya kencang.

Bara tercengang melihat kejadian itu, tanpa membuang waktu ia membagi-bagikan dua keranjang apel dan anggur pada anak-anak jalanan yang berlalu lalang. Ricko dan dua preman yang mengawasi dari kejauhan, mereka bertiga melihat itu menjadi geram. Dua preman di perintahkan untuk mencabuk Bara dari belakang karean sudah lancang membagikan dagangan sembarangan.

"Ctarr!"

"Ctarr!" Suara tambang di cambuk-cambukkan ke tubuh Bara dengan kasar membuat Bara berhenti sejenak dan tersungkur.

"Arrggh! Ke--kenapa kalian mencambukku?" Jerit kesakitan sudah menjadi makanan sehari-hari bahkan suara yang terbata-bata sudah menjadi kebiasaanya.

"Kamu membagikan barang jualan padahal dari tadi belum laku, dasar lancang!" Bentak dua preman itu pada Bara.

"Semua sudah laku ta--tapi, Arrggh! Orang itu tidak mau membawa buahnya malah menyuruhku, Arrghh! Mem-bagikannya," jelas Bara dengan sesekali mengerang kesakitan.

Dua preman itu saling pandang beranjak membanti Bara bangun, mereka berdua menarik Bara ke meja yang semulanya di pakai untuk berjualan. Disana terdapat segebokuang yang masih rapi dengan amplop coklatnya.

Bersambung

Bara [END] OPEN POTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang