25. Tes Awal Part 2

76 15 8
                                    

Aku merasakan sesuatu yang nyaman, seperti sedang berbaring di atas awan. Sedikit demi sedikit mataku mulai terbuka. Aku baru sadar, aku sedang terbaring di atas kasur yang berada di Kamar Surga. Aku melihat seseorang berpakaian hitam sedang menyelimuti Tristan, kemudian dia mengusap-usap kepada Tristan. Sebelum dia berbalik ke arahku, aku berpura-pura tertidur dengan memejamkan mata.

Dia menyelimutiku dengan selimut hangat selembut awan. Lalu tak lama kemudian, aku mendengar pintu tertutup.

Kubuka sebelah mataku untuk mengintip, memastikan jika seseorang itu sudah keluar. Dan ternyata memang sudah keluar. Kamar ini sudah sepi. Hanya ada aku, dan Tristan yang sedang tertidur lelap sambil memeluk guling. Aku tidak tahu apa yang baru saja terjadi, tapi aku tahu satu hal——yang memang sudah aku ketahui sejak dulu, bahwa di balik sikapnya yang dingin dan sinis, dia memiliki hati yang lembut.

Aku kembali tertidur, karena sangat mengantuk...

***

Telingaku mendengar seseorang sedang bergumam tidak jelas. Aku tahu kehebohan sebentar lagi akan terjadi. Jadi aku berbaring menyerong untuk membelakanginya, kemudian mengambil bantal lain untuk menutupi kepala.

"Aran!!" teriaknya, yang aku tebak, sedang duduk tegak di atas kasurnya. "Kenapa kita tiba-tiba berada di sini?!"

Aku memeluk bantal kedua lebih erat ke kepalaku.

"Aran!! Kita akan dimarahi Kakak jika dia tahu bahwa kita tidur di sini!!" Sambil melemparriku dengan apa pun yang ada di kasurnya.

Keputusan untuk bangkit. "Bagaimana mungkin dia memarahi kita jika dia sendiri yang memindahkan kita ke mari?" balasku.

Dia tertegun. Dengan perlahan-lahan, dia kembali berbaring di kasurnya, tanpa bantal ataupun guling. Hanya ada selimut di atas kasurnya. Dia meringkuk, lalu menarik selimutnya sampai ke dada. Miris sekali.

"Kau baik-baik saja?" tanyaku.

"Aku merasa... konyol," jawabnya.

Artinya dia baik-baik saja. Karena matahari belum terbit——aku melihat di jam dinding pun masih menunjukkan pukul setengah lima pagi, aku memutuskan untuk kembali menjatuhkan tubuhku ke atas kasur. Tristan tidak bersuara lagi. Jadi aku pikir, diapun sudah kembali tertidur. Dan, karena aku masih mengantuk, akupun ikut tertidur.

***

"Jika dalam sepuluh menit kalian berdua belum juga turun ke ruang makan, aku akan kembali menghukum kalian." Sebuah suara menggema di seluruh ruangan, mirip kemarin.

"SIAL!! Sial, sial, sial, sial," umpat Tristan sambil berlari sempoyongan menuju kamar mandi, rambutnya acak-acakan. Begitu pula denganku.

Sekilas aku melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul setengah delapan pagi. Aku ketiduran.

Kami membersihkan diri sebisanya, mengambil pakaian apapun yang bisa diraih oleh tangan. Aku mengenakan kaos reglan berwarna putih yang bagian lengannya berwarna hitam, juga celana Chino di atas lutut berwarna cokelat muda. Tristan mengenal sweater rugby berkerah putih dengan perpaduan warna garis-garis besar hijau tua dan navy, juga celana Chino pendek di atas lutut yang warnanya sama denganku. Kemudian kami berlari menuju ruang makan. Kami sempat tersesat, tapi akhirnya aku ingat jalan menuju ruang makan. Kami tidak terlambat, masih ada waktu satu menit sebelum pukul tujuh empat puluh.

Ketika sampai di ruang makan, Tristan langsung berlari menuju seseorang yang sedang duduk di salah satu kursi, lalu memeluknya dengan erat dari belakang. 

Nova menganga melihat itu. Sedangkan Kak Gita berkata, "Ooohhh... manisnya... aku jadi rindu adikku."

Febri berbalik ke arah Tristan yang sedang memeluknya dari belakang. "Pelukan untuk apa ini?"

Aran Alali #1: Hujan Darah IblisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang