#Sri, tok!
#Part_5
#Sylviana_Mustofa***
Sepanjang perjalanan naik dari bawah ke atas kami jadi pusat perhatian. Tak jarang ada yang berbisik dan tertawa. Ada juga yang keliatan iri sehingga langsung merangkul lengan pasangannya. Sementara aku semakin menyembunyikan wajah di dadanya. Wangi parfumnya menguar di indra penciuman yang membuat debaran di hati semakin menjadi.
"Kamu harus belajar naik tangga eskalator ini, biar ke depannya nggak nyusahin!" pekiknya geram, tapi berbisik.
"Maaf, Mas. Lain kali aku janji bakal belajar naik tangga eskavator ini."
"Eskalator Sri!! Bukan eskavator, beda arti," katanya semakin melotot menatapku. Aku yakin wajahku saat ini pasti sangat ketakutan melihat kemarahannya.
"Mas, ndak usah marah ... " ucapku lirih, memelas dengan raut yang hampir menangis.
Dia diam saja dengan muka kesal. Tidak berapa lama kami sampai di atas. Mas Bagus segera menurunkanku dan berlalu begitu saja, sementara aku mengikutinya dari belakang. Sialnya kami harus naik tangga ajaib satu lagi karena tujuan kami ada dilantai 3. Sebelah tangan Mas Bagus berkacak tangan di pinggang sedangkan satunya memijat kepala, ia sudah berdiri bibir tangga, lalu menoleh ke arahku.
"Cepet!" perintahnya.
"Mas aku bisa sendiri," sahutku setelah mendekat.
Mas Bagus menarik sebelah tanganku dan memposisikan aku di hadapannya. Sekali lagi ia membopongku. Jika tadi banyak yang heran, kali ia banyak yang tersenyum dan tertawa melihat ini, bahkan ada yang bersiul menggoda dan merekam kami.
"Ahh so sweet ... " Terdengar seseorang mengatakannya di dekat kami. Wajah Mas Bagus datar, entah masih kesal atau tidak. Sampai di atas ia segera menurunkanku dan mengajak berkeliling mencari pakaian.
***
Aku diam dan terus menundukkan kepala ketika kami duduk di sebuah restoran. Sungguh aku merasa bersalah, sedangkan Mas Bagus duduk di depanku, melipat tangan di depan dada dengan sorot mata tajam, seperti mengulitiku.
"Mas, njalok ngapuro," kataku meminta maaf. Tanganku saling menggenggam erat di pangkuan, sementara wajah terus menunduk dalam.
"Lain kali harus memberanikan diri naik tangga eskalator itu."
"Nggeh, Mas. Saya janji akan memberanikan diri naik tangga eskavator itu."
"Eskalator, Sriii!"
"Ngapunten, Mas. Iya, maksud saya tangga eskavator."
"Sri, pake La bukan Va!" Ya Allah dia makin melotot. Ah! Kenapa nama tangga itu susah sekali disebutkan?
"Tangga ajaib ajalah Mas biar nggak salah."
"Ya sudahlah, terserah. Janji, ya. Kamu harus belajar naik tangga itu. Karena ke depannya kita akan belanja di tempat seperti ini terus."
"Nggeh, Mas. Kulo janji."
"Ya sudah. Tunggu bentar Mas mau pesen makanan." Ia berlalu.
Hati ini terus dilanda rasa bersalah. Pasti Mas Bagus malu sekali mengajakku datang ke sini. Kulihat belanjaan di samping tubuhku. Mas Bagus membelinya bahkan tanpa bertanya padaku. Kira-kira baju seperti apa yang dibeli olehnya.
"Sudah, ndak usah dipikirkan lagi. Setelah Mas pikir-pikit wajar kalau kamu ketakutan naik tangga eskalator itu. Kamu kan nggak pernah naik yang seperti itu. Kamu tak maafkan, tapi next time, kalau ke sini harus berani ya!"
Aku tersenyum, lalu mendongak menatap wajahnya yang sudah lebih enak dipandang.
"Janji, Mas!!" kataku bersemangat.