Berleha-leha di kasur adalah hal pertama yang Yada lakukan ketika sampai di rumah. Berpisah selama hampir tiga hari dengan benda itu membuat Yada rindu. Ia memeluk erat gulingnya, tak peduli pada si adik yang tengah merajuk. Yada terlalu lelah untuk membujuk cowok itu. Toh, dibiarkan juga nanti Yuka baik sendiri. Yada tidak perlu membuang tenaga karena Yuka jarang mempertahankan amarah dalam kurun waktu lama.
Ketakutan Yada soal sosok Ares tak lagi terasa setelah ia kembali ke rumah. Ia juga tak merasa diikuti olehnya. Dengan begitu Yada bisa kembali tenang dan menikmati waktu istirahatnya.
Namun, dering dari ponsel pemuda itu menginterupsi. Ada sebuah panggilan. Yada menghela napas pelan, lalu menggeser ikon berwarna hijau pada ponselnya. Kemudian menyapa, "Halo, Yah."
"Yuka ke mana? Kok Ayah telpon nggak diangkat," ujar sebuah suara bariton dari seberang.
"Ada, kok. Sebentar aku panggil." Yada sudah menduga. Sang Ayah hanya akan menelpon kalau Yuka tak bisa dihubungi.
Rencana rebahan all day long Yada harus ditunda karena sang ayah mendadak menelepon. Dengan agak berat hati, Yada keluar dari kamar dan mencari keberadaan Yuka. Setelah hampir mengelilingi kediaman keluarga Pranatawira, Yada menemukan Yuka di halaman belakang. Sedang menyiram bunga dengan Arumi.
Kehadiran Yada di sana tak langsung disadari. Kedua insan berbeda gender itu malah sibuk membicarakan soal bunga baru yang Arumi beli.
"Yang ini bagus, Mam. Beli di mana?" tanya Yuka sambil menyentuh bunga anggrek milik maminya. Di halaman belakang mereka ada berbagai tanaman dan semua itu dipelihara oleh Arumi sendiri. Kusuma––suaminya––tak mengizinkan Arumi untuk bekerja, maka dari itu Arumi berinisiatif menyibukkan diri sendiri dengan merawat tanaman.
"Titip sama temen Mami. Cantik, ya?" balas Arumi seraya tersenyum cerah. Belum sadar kalau Yada ada di sana.
Yada bersedekap. Lalu geleng-geleng kepala melihat interaksi Yuka dan Arumi. "Sibuk banget kayanya, sampai aku dateng aja nggak sadar," celetuk pemuda itu.
"Eh, Cah Ganteng, tumben keluar dari kamar?" ujar Arumi. Sambil menarik Yada agar mendekat. Wajah Yada lanvsung masam. Ia tahu kalau Arumi baru saja menyindir dirinya yang lebih suka berdiam dalam kamar.
"Mami, nih! Aku keluar salah, di dalam kamar juga salah."
Tawa renyah Arumi terurai. "Ya maaf, Sayang. Ada apa?"
"Oh iya. Ini Ayah telpon, nyariin Yuka." Yada mengulurkan ponselnya ke Yuka. Namun, pemuda itu malah hanya menatap benda itu datar. Kemudian berpaling sebelahnya. "Ka, ini Ayah lho. Bapakmu yang nelpon!"
"Gue lagi males ngomong. Matiin aja."
"Hush, nggak sopan, Ka. Ayahmu kangen itu," sahut Arumi.
Kalau Arumi sudah angkat bicara, maka Yuka tak bisa menolak. Ia mengambil ponsel yang Yada ulurkan, lantas menempelkan benda itu ke telinga.
"Kamu marah sama Ayah?" Suara bariton itu kembali terdengar. Orang di seberang agak sedikit kecewa karena pada awalnya Yuka menolak untuk berbicara.
"Enggak."
"Kemah bloknya gimana? Jangan sampai kecapekan lho kamu."
"Ya," balas Yuka singkat. Sejujurnya ia malas berbicara dengan sang ayah. Namun, karena di sini ada Arumi ia harus tetap menjawab meski seadanya.
"Sudah makan belum kamu?"
"Sudah."
"Tadi Ayah dengar suara Mbak Arumi, pasti kamu sudah di rumah. Kemarin kamu bilang kemahnya baru selesai nanti siang. Kamu nggak kenapa-napa, 'kan? Kok pulang duluan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Purnama Habis
Teen FictionYada bukanlah seseorang dengan motivasi kuat dalam menjalani hidup. Sering kali ia berpikir untuk menyerah, tetapi beberapa hal membuat ia urung. Ia hanya berharap hari ke hari segalanya semakin membaik, tetapi seiring sang waktu berjalan, malah duk...