Li. 26 - Sebenarnya Mana yang Lebih Salah?

48 14 2
                                    

Buku yang tadi dibelinya sudah dia simpan ke dalam tas Rifqi, dia lupa membawa tas yang layak saking senangnya mau pergi. Harum berbagai makanan menggelitik indera, membuat Mega meneguk ludahnya dengan kasar.

“Aku mau beli cilor dulu, Mega mau?” Mega menganggukan kepala, sesaat kemudian tersadar ada yang berbeda dari caara berbicara pemuda itu. Kekehan lolos dari bibirnya. Gadis itu segera menjawab saat Rifqi menatapnya dengan bingung. “Santai aja, Ki. Gak papa kok Iki ngomongnya pake lo-gua.” Pemuda itu ikut terkekeh menyadari bahwa dirinya terbawa cara berbicara gadis itu. “Gak tahu, kebawa aja, ketularan gaya bicara kamu.”

“Iki, aku mau cilung, risol, mendoan, cilok, sama seblak, Iki mau gak? kalau mau belinya satu bungkus aja kecuali seblak, patungan aja.” Rifqi hanya mengangguk, lalu memesan empat ribu, dapat empat tusuk.

Mega mengambil satu. “Untung gak pake saus, aku gak suka soalnya.” Mega baru saja akan memakannya saat suara Rifqi mengintrupsi. “Makannya nanti aja, gak baik makan sambil berdiri.” Mega tersenyum canggung, mengembalikan cilor ke dalam plastik. “Maaf, khilaf hehe.”

Mereka sekarang tengah duduk di bawah pohon yang tidak terlalu jauh dari penjual seblak, yang terakhir mereka datangi tadi. Kresek berisi makanan terdapat di tengah-tengah mereka. Di depan masing-masing terdapat satu mangkuk seblak pedas. Rifqi memimpin doa dengan khusu.

“Ini enak banget. Seger deh apa-apa kalau makan seblak.” Rifqi hanya mengangguk saja, dia sibuk memakan seblak.

“Mau sambil ngobrol gak?” Tiba-tiba Rifqi ingat tujuannya mengajak gadis itu ke bazar, meski terlihat lepas, tapi terlihat jelas jika fikiran Mega sesekali akan tergelam dalam pertanyaan, salahnya ya?

“Ayo mau ngomongin apa?” Mega bertanya dengan antusias. “Eh, Iki, pasti udah denger deh, berita yang lagi nyebar di sekolah.” Lanjutnya dengan tangan yang sibuk mengaduk-aduk seblak di mangkuk.

“Baru dengar sekilas.” Rifqi menatap gadis itu lalu menghela nafas. “Dari pada seblaknya dimainin, mending buat aku aja, mubadzir udah dibayar.” Mega langsung menatap Rifqi dengan kesal. “Enak aja, mana rela bagi-bagi seblak.” Mega langsung memakan seblaknya dengan rakus sampai kuah-kuahnya habis.

Tangannya meraih botol mineral yang masih tersegel, memutal tutupnya ke kiri tapi masih tidak bisa begitu pun sebaliknya. “Tolong bukain, dong, Iki.” Mega menyodorkan botolnya dengan wajah memohon.

“Makan gak jadi tenaga, aneh.” Rifqi memberikan kembali botol yang sudah terbuka itu. Tangannya meraih cilor dan memakannya dengan khitmat.

Mata Mega menatap sekaliling, semua orang sibuk dengan kegiatannya masing-masing, pun teman-teman Rifqi yang terlihat tengah foto-foto. “Iki, kalau kamu di posisi Mega, akan ngambil sikap seperti apa?” Mega bertanya dengan lirih, sebelah tangannya mengambil cilor dari palstik yang Rifqi pegang.

“Aku udah pernah mengalami sebelum kamu,” ujarnya dengan pelan. Mega lupa jika kasus serupa pernah terjadi di kelas pemuda itu saat mereka masih kelas 11.  “Bohong kalau aku akan bersikap perduli, pada kenyataannya aku hanya pura-pura tidak tahu. Membiarkan dia sadar sendiri.”

“Menurut Iki, langkah yang aku ambil salah, ya?” Tanyanya sembari menerima tusuk cilok yang pemuda itu berikan. “Gak salah sebenarnya, cuma pemikiran setiap orang dalam menyikapi kasus serupa, kan berbeda.”

“Aku sebenarnya agak kaget saat kamu mengambil inisiatif untuk bertanya langsung bahkan membantu, kan?”

“Tapi gara-gara Mega kan, Rena jadi milih kaya gitu?”

Pemuda itu tersenyum. “Mega, hati seseorang tidak ada yang tahu. Bahkan jika kamu tak membantu menyadarkannya, jika pada akhirnya dia menyadari sendiri, apa menurut kamu, dia tidak akan melakukan tindakan serupa?” Mega menggeleng, tentu saja dia tidak tahu. “Kamu hanya membantu membuatnya menyadari lebih awal.”

“Tapi gara-gara itu aku makin terpojok. Menurut Iki mana sebenarnya yang lebih salah?”

“Mereka yang membicarakan di belakang dan membiarkan padahal menyadari, jelas salah, tindakan kamu juga di mata sebagian dari mereka salah. Jadi lakukan semua sesuai apa yang Mega anggap benar, karena dari kacamata yang aku lihat apa yang kamu lakukan sudah lebih baik.”

“Terima kasih ya, Iki.”

“Hmm … kalau ada apa-apa cerita aja.”

Rifqi mengatakannya dengan santai, tapi di sini jantung Mega tidak bisa santai. Damagenya ngena banget.



***
[6/365]

Aku berharap kita bisa menjadi bijak dalam menyikapi suatu keadaan, walau itu terdengar sedikit maruk.

Biru

Lir Ilir (Dimensi 1 dan 2, Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang