Tepat pada pukul 7 pagi di Pasar Legi Kotagede, hari kedua terasa begitu hangat. Judith tengah tertawa di atas jok pespa tatkala benda tua itu berhenti di barisan parkir. Guyonan Rion aneh sekali, khas bapak-bapak beranak tiga yang gemar main sosial media di waktu suntuk mereka. Tapi lebih aneh lagi karena Judith tertawa atas guyonan payah tersebut. Menyebalkan.
Rion memberi kode agar Judith turun, perempuan itu menurut sambil melepas helmnya dari kepala. Tatapannya takjub ke sekitar pasar, menatap banyaknya penjual dengan kue kering maupun basah. Judith dan Rion memang kemari untuk mencari sarapan, meninggalkan nasi goreng dan kopi joss kemarin. Jajanan kecil dan manis terasa menggiurkan hari ini, kemudian minum jamu, dan membeli beberapa makanan untuk bekal dalam perjalanan mereka memutari Yogyakarta nanti.
"Yon, ayo kesana!" Tanpa mau menunggu Rion, Judith berjalan lebih dulu ke arah meja jualan yang berisi makanan basah dan kering.
Sang ibu penjual tersenyum dari balik mejanya menyambut kedatangan Judith. Padahal, Judith bukanlah tamu pertama, mungkin sudah tamu ke-puluhan. Tetapi ibu itu masih mempertahankan ramahnya walau peluh sudah membasahi bajunya. Judith tidak menyia-nyiakan kesempatan, dia bersikap jauh lebih ramah. Kemudian menyisir makanan di depannya dengan mata berbinar. Bubur sumsum, getuk lindri, ukel manis, nasi jagung khas Gunungkidul, geplek, kue wajik.
"Ini bakpao, Bu?" tanya Judith, tapi gagal bersuara dengan logat setempat.
Si ibu mengangguk penuh gurat ceria. "Iya, Dek, itu bakpao goreng, enak! Cobain dulu, bagi dua sama masnya."
Judith nyengir, menampilkan deretan giginya sembari mencoba memilih bakpao mana yang paling besar. "Isinya apa, Bu?"
"Itu kacang hijau, di sebelahnya cokelat, sebelahnya lagi ayam. Kalau mau ayam, Ibu sediain saus, mau yang mana?"
"Kacang hijau boleh pakai saus, Bu?" Judith melemparkan guyonan, tertular humor bapak-bapak yang Rion racaukan selama perjalanan mereka kemari. "Saya bercanda, Bu."
"Kok ndak lucu ya, Dek?"
"Emang nggak lucu, Bu," sahut Judith dengan raut sengsara. Jemarinya kemudian mengambil satu bakpao berisi kacang hijau, membelahnya sehingga tampaklah kenikmatan yang tersimpan di dalamnya. "Nggak ada yang lebih indah dari ini pokoknya! Kamu pilih punya kamu sendiri, Yon, aku nggak mau kasih punyaku."
Rion ingin sekali mencubit pipi Judith, tetapi ia terlalu menikmati kebahagiaan Judith pada makanan sederhana di depannya. Perut Rion semakin lapar kala Judith mulai mengunyah bakpao isi kacang itu dengan semangat. Pipinya bergerak lucu. Rion tidak mau kalah, dia kemudian mengambil risoles dan menggigit cabe rawitnya lebih dulu. Beruntung, ada kursi yang disediakan sehingga Rion tanpa pikir langsung menarik lengan Judith untuk duduk. Tidak baik juga makan berdiri.
Kurang lebih satu menit, bakpao dan risoles itu sudah menghilang. Serentak mereka berdiri lagi, Judith mengambil dua pastel sementara Rion memilih getuk lindri berwarna merah hati dengan taburan kelapa dan goresan daun pandan di atasnya. Mereka datang bersama, tetapi bak orang tidak saling mengenal ketika pipi mereka bergerak semangat naik turun untuk mengunyah. Judith terlalu bersemangat mengingat sudah lama sekali ia tidak memakan gorengan. Di Toronto ada, tetapi tokonya cukup jauh dan belum lagi harga untuk satu gorengan terbilang mahal. Di Pasar Legi bakpao harganya 3 ribu rupiah, di Toronto bisa saja 3 dollar. Bagaimana mungkin Judith mau menyia-nyiakan surga dunia ini.
"Eh parah, itu udah yang ke berapa?" Judith bertanya pada Rion yang kembali mengambil getuk lindri, kali ini warna hijau.
Rion memberikan tiga jarinya, enggan bersuara karena ia masih mengunyah. Judith mencebik seraya berjalan ke sisi lain, dia mengambil kantung pelastik untuk mengisinya dengan berbagai harta karun lain, khusus untuk dirinya sendiri. Satu wadah menarik perhatian Judith, semangat mengulurkan tangan untuk menjemput makanan kesukaannya. Pisang goreng yang masih panas! Dia mengambil empat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Just Like Yesterday
Fiksi UmumPART MASIH LENGKAP! "Mungkin, pada dasarnya kita hanya datang untuk kembali berkata hendak pergi. Kamu itu layaknya rasi bintangㅡtidak selamanya terang, tidak selamanya indah. Mungkin sekarang saatnya untuk berkata sudah." Judith Aluna, terkait Ori...