26. Di Hutan Barat

86 13 31
                                    

Seaneh-anehnya pikiran fantasiku, aku belum pernah membayangkan jika aku akan berlari di tengah-tengah hutan hujan tropis. Di dunia yang tidak ada di peta, globe, ataupun atlas——bahkan tidak terdaftar di galaksi manapun. Sambil dikejar-kejar oleh koala raksasa, kucing bergigi pedang yang memakan kekuatan kosmik, dan juga Yeti. Dan walaupun aku belum pernah membayangkannya, ini terjadi, dan ini nyata.

Suara gemuruh guntur terdengar dari Langit Selatan. Mungkin ini artinya koala kembar sudah mengejar aku dan Tristan——aku tidak tahu yang mengejarku ini Nakula atau Sadewa——aku juga tidak tahu mana yang Nakula dan mana yang Sadewa. Okelah, itu tidak penting, yang penting adalah: aku harus berlari sejauh mungkin, dan bersembunyi se... tersembunyi mungkin. Agar kami bisa lulus dari Tes Awal ini.

Tiba-tiba suara yang aku kenal menggema di dalam kepalaku. "Ada tamu tidak diundang, tapi aku bisa mengatasinya. Kalian tidak perlu khawatir. Fokuslah pada tes kalian. Jika ada sebuah bayangan hitam aneh, jangan dihiraukan. Cobalah untuk berlari menuju arah berbeda setiap kali melihat bayangan tersebut."

Aku bertanya dengan mengeluarkan suara, "Febri?"

"Ya, ini aku." Suara tersebut kembali menggema di dalam kepalaku. Masih dingin dan datar.

"Kenapa aku bisa mendengar suaramu di dalam kepalaku?"

"Tentu saja. Setiap Hamia bisa melakukan telepati."

"Membaca pikiran?"

"Telepati yang aku maksud adalah: berkomunikasi dengan menggunakan pikiran, bukan membaca pikiran."

"Oh. Apa Hamia juga bisa membaca pikiran?"

"Tidak. Kami bukan keturunan Edward Cullen." Guyonannya tidak lucu, tapi aku tersenyum karenanya.

Jika ada seseorang yang melihat ini, aku akan disangka gila karena berbicara sendirian. Padahal aku sedang berbicara dengan Febri menggunakan telepati. Keluargaku ternyata tidak aneh, tapi mereka benar-benar aneh.

"Jadi, apa yang harus aku lakukan?" tanyaku.

"Tetaplah fokus pada tesnya. Jangan hiraukan bayangan hitam yang kau lihat."

"Apa Tristan mendengar ini juga?"

"Tidak, percakapan ini hanya terjadi antara kita berdua. Kecuali jika aku memasukannya dalam percakapan ini. Tapi aku juga memperingatkannya soal bayangan hitam. Dia mulai bertanya banyak. Aku akan memutuskan koneksi denganmu. Tapi tak usah khawatir. Kau dalam pengawasanku. Mereka tidak akan bisa menyentuhmu."

"Oke." Tunggu, mereka siapa?

Suara Febri tidak lagi terdengar.

Aku memutuskan untuk fokus pada lariku yang sedang menghindari kejaran koala yang bahkan tidak aku ketahui keberadaannya dimana. Aku harap dia tidak mudah menemukanku.

Gemuruh guntur berikutnya terdengar. Artinya Wahid dan Nino sudah mulai berlari. Dan ini pasti sudah pukul sembilan lebih dua puluh menit. Kakiku mulai sedikit sakit. Aku menyadari sesuatu, seharusnya kemarin malam aku tidak bisa tidur nyenyak karena kakiku pasti sakit-sakit seusai berlari di hutan pinus. Tapi aku tidak merasakan apa-apa. Tadi pagi pun aku bangun dengan segar. Apa Febri menyembuhkannya? Ah, entahlah.

Tadinya, aku akan beristirahat sejenak karena kakiku sudah mulai sedikit sakit. Tapi sebuah bayangan tinggi besar berwarna hitam berdiri tegap di hadapanku, tepat sepuluh meter dariku. Aku ingat kata-kata Febri barusan, untuk tidak menghiraukannya dan berlari menuju arah yang berbeda setiap kali melihatnya. Oke, aku akan berbelok ketika jarakku sudah lima meter lagi.

Aran Alali #1: Hujan Darah IblisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang