Chapter 8

6 2 0
                                    

Chapter 8: Bagaimana Berita Terbang di Olympic Indonesia

Berita tentang Sonia dan Arsen dengan cepat tersebar ke setiap pasang telinga yang ada Olympic Indonesia. Bahkan para jurnalis kecil Olympic Indonesia sudah menuliskan berita, mencetak, lalu memasangnya di mading. Setiap lantai dan setiap gedung penuh dengan foto Arsen bersama Sonia siang tadi di kantin. Sungguh cepat tangan mereka menjepret. Tak tanggung-tanggung, para jurnalis itu pun menggunggah berita tersebut pada site mereka dengan judul "Nabrak Arsen, Justru Diajak Kencan".

Sonia bergerak resah di duduknya. Sangat jelas ia tidak nyaman dengan semua pasang mata yang menilik kehidupannya. Mia dapat melihatnya dengan jelas. Semua kerutan pada wajah Sonia mengatakan kepadanya.

Mia meletakkan tangannya di atas tangan Sonia, membuat Sonia menoleh. Mia meremas tangan dingin Sonia berusaha memberikan secercah semangat hidup di pasang mata Sonia yang redup. Sonia tersenyum sebelum menarik tangannya dari bawah genggaman Mia, kembali memaku perhatiannya pada buku yang terbuka di atas meja.

Mia tidak bisa melakukan apa-apa lagi. Ia tahu bahwa menyakitkan bagi Sonia untuk sekedar tersenyum. Jadi, dia berusaha untuk tidak memperkeruh dengan diam. Itu yang Sonia mau, karena Mia dapat melihat semua luka yang selalu disembunyikan Sonia setiap Mia menatap matanya kelamnya.

Sebuah tangan cantic dengan kuku-kuku merah membanting sebuah kaca mata bulat di atas buku yang sedang Sonia baca. Sonia mengadahkan kepalanya takut-takut. Setelah tindakan gegabahnya, entah apa keberanian Sonia akan kembali lagi.

"Nih, buat lo."

Charlie dan dua kacung. Salah satu pengikut Athena ...mungkin. Menurut Sonia, sebutan penjilat mungkin lebih tepat daripada pengikut. Seluruh Olympic Indonesia pun tahu, tidak ada yang tulus mendekati Athena jika tidak dikarenakan uang yang Athena punya. Memang Malang.

Ah, satu lagi... Charlie merupakan penggemar berat Arsen. Penggemar disini artinya, perempuan obsesif yang bermimpi menjadi pendamping Arsen, sehidup dan semati.

Charlie menyilangkan tangannya di depan dada, melirik Sonia lewat bawah matanya.

"Aku nggak min." Sonia memuji dirinya dalam hati karena berhasil menjawab Charli tanpa tergagap.

"Oh, nggak min?" Charlie membulatkan mata dan mulutnya seperti terkejut dengan fakta yang keluar dari mulut Sonia. "Sorry, gue nggak tahu. Gue kira malah lo buta. Makanya kalau jalan dipake matanya."

Charlie yang tersenyum masam di akhir, melirik tangan Sonia yang mengepal di atas meja, kemudian terkekeh meremehkan amarah Sonia.

"Athena liat nggak sih tadi?" tanya salah satu kacungnya yang mempunyai tato memenuhi tubuh atasnya hingga leher, Rosi.

"Kalau gue Athena... nggak sudi deh ade gue punya pacar yang otak sama matanya nggak dipakai. Mengotori sejarah keluarga." Kacung Charlie yang lain, Sarina, mendecih ke arah Sonia. Sonia memundurkan tubuh sambil memalingkan wajah.

Charlie tersenyum miring mendengarkan keduanya merendahkan Sonia. Bukti Charlie bangga dengan perbuatan tercela kedua temannya hanya menunjukkan betapa sakit otak dan hati Charlie bagi Sonia.

"Well, she's just his toy. Bitch," desis Charlie, melayangkan tatapan sinis pada Sonia.

Mereka melangkah pergi, keluar dari kelas yang bukan kelas mereka, dipimpin oleh Charlie. Sepeninggalan Charlie, suasana kelas masih terasa suram. Tidak ada yang berani bergerak maupun mengeluarkan sepatah kata. Sonia pun hanya bisa menunduk. Tidak ada yang bisa membayangkan betapa malunya Sonia dimaki dihadapan teman kelasnya dan murid Olympic Indonesia yang tadi mengintip melalui jendela.

Kepalan tangan Sonia semakin kuat, hingga buku-bukunya memutih. Hanya satu yang ada di dalam kepala Sonia. Aku akan membalasnya, tekadnya bulat.

Untungnya setelah itu tidak ada lagi yang mengganggu Sonia. Ia bersyukur akan itu. Meskipun, Sonia belum bisa mengangkat kepalanya. Siapa yang peduli! Toh, Sonia masih memiliki rumahnya.

Sonia memarkirkan mobilnya di perkarangan rumahnya. Ia melangkah keluar setelah mematikan mesin mobilnya. Sonia berhenti di tengah jalan begitu melihat pintu rumahnya terbuka lebar. Ia mengernyitkan dahinya sebelum kembali melangkah.

"Woah..." Sonia terdiam di ambang pintu.

Puluhan tas belanja dengan logo brand terkenal memenuhi ruang tamunya. Chanel, Gucci, LV, sebutkan dan Sonia dapat menunjuknya.

"Sonia!" Sonia menoleh pada mamanya yang tertimbun barang-barang. "Mama beliin tas buat kamu. Liat deh LV keluaran terbaru!" pekik Sania mengangkat satu tas belanja dengan tulisan 'LOUIS VUITTON'.

"Mama..." Sonia menutup matanya dengan satu tangannya.

Sania masih bersemangat. Ia tersenyum lebar selagi mengangkat sebuah jas dari kotak. "Terus ini suit Chanel, bisa buat kamu pake sekolah."

Sania menjatuhkan jas dari jepitan jemarinya dan beralih ke kotak lainnya. "Mama juga nggak lupa beliin kamu sepatunya," ucap Sania, begitu bangga menunjukkan sepatu rancangan desainer terkenal.

"Ini bawa ke kamarmu!" Sania menyodorkan barang-barang itu ke tangan Sonia.

Sonia membelalakan matanya seraya berjuang dengan susah payah menahan seabrek barang yang disodorkan Sonia.

Belum sempat Sonia menyadarkan diri, papanya muncul dari balik pintu masuk. Dan sama seperti Sonia tadi, wajah Sofyan penuh keterkejutan. Namun, Sofyan langsung mengendalikan dirinya.

"Sania, aku perlu bicara," perintah Sofyan sehalus mungkin.

Meskipun nadanya terlewat lembut, Sonia sempat melihat gertakan pada rahang Sofyan. Namun, melihat Sania yang masih tersenyum senang mengekori Sofyan, gertakan itu mungkin bukan masalah besar. Mungkin Sonia saja yang terlalu berlebihan. Bagaimanapun, situasi konyol yang bodoh di Olympic Indonesia hampir membunuhnya. Sonia harus mengistirahatkan matanya. Ia sebaiknya menyuruh pelayan rumah mengisi bak mandinya dengan air hangat.

Beware of the DogTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang