Sesekali, mata Aran menyusuri sosok Lethia yang duduk di sisi lain meja panjang di ruangan makan istana. Ujung jari, lengan, naik ke bahu. Selangka, leher, hingga ke bibir. Lethia tidak bisa berpura-pura tidak sadar. Hanya ia seorang yang berada di hadapan Aran. Dayang berlalu-lalang menyajikan makanan, tapi hanya sebatas itu keberadaan mereka. Ketika tirai tersingkap tertutup, mereka kembali berdua.
Ini bukan pertama kalinya Lethia mengenal seorang pangeran. Dari tatapannya, gerak-geriknya, Lethia segera tahu ia memang serupa dengan Balvier. Dibesarkan secara keras, namun dengan kemewahan dan elu-elu tiada henti. Aran memiliki wibawa keangkuhan setiap pangeran.
Balvier. Ketika benaknya memikirkan kakaknya, ia teringat kata-kata Aran kemarin malam. Lethia berusaha melupakan itu, tapi sia-sia. Itu adalah kenyataan yang diberikan padanya, dan tangisan sebanyak apapun tidak bisa merubahnya.
Lethia mengepalkan tangannya, menahan emosinya. Air mata sudah mengumpul lagi di ujung-ujung matanya, tapi ia tidak ingin membiarkan dirinya lepas kendali di hadapan Aran.
Mata Aran mengerjap. Lethia berpaling memutuskan kontak mata, menunduk lagi. Tangan Aran bergeser, meraih minumnya. Ia mendesah pelan setelah tegukan terakhir.
"Kemarilah," sahut Aran perlahan. Suaranya hampir hilang di tengah angin malam Kitala.
Jantung Lethia berdebar kencang. Tangannya masih terkepal. Ia tidak bergerak bahkan sedikit pun. Ketika ia memaksa dirinya untuk mendongak, ia mendapati Aran menatap langsung pada dirinya.
Ada rasa ingin tahu di dalamnya. Ada nada memerintah, juga ada dorongan angkuh. Bukankah memang dia yang berkata kemarin, '... Kitala adalah rumahmu, dan kau adalah milikku'?
"Apa kau membenciku sekarang?" Aran meraih serbet dan mengelap bibirnya. Kakinya ditekuk satu, tangannya bertopang pada lututnya. Ia terlihat nyaman di atas bantal-bantal bersulam itu, tidak seperti Lethia yang terduduk canggung.
"Jika kau ingin membenci seseorang, bencilah kakak-kakakmu," Aran berkata. "Tugasmu adalah menghiburku."
Lethia diam seribu bahasa. Menghibur, dia bilang? Selama hidupnya, Lethia hanya belajar untuk dihibur. Tinggal di dalam kastil Assori sendirian ketika Balvier tidak ada bukanlah hal yang menyenangkan. Ia tiba-tiba dibuang dan diasingkan, kini ia berubah dari seorang putri yang dilindungi menjadi seorang penghibur?
Aran tampak menyadari tatapan penuh kebencian itu. Tapi ia tidak ambil pusing. Ia bangkit dari tempat duduknya, membuat Lethia berjengit dan mundur ke belakang secara natural. Ketika Aran duduk di sampingnya, bahu mereka bersentuhan, Lethia membeku di tempat. Getaran kecil dari tubuhnya sampai pada Aran, namun ia tidak tahu apa pangeran itu menyadarinya.
Walaupun sadar, tampaknya ia tidak peduli.
"Tinggal di dalam keluarga yang memiliki banyak selir, apa kau tidak diajari bagaimana cara menghibur seorang pria?"
Lethia bisa mendengar nada menyindir dalam suara Aran yang berat, dan ia pun membuang muka. Untuk beberapa saat lamanya, yang ada di antara mereka adalah keheningan, hingga Aran memecahnya lagi, "Namun melihat caramu bertindak di hadapanku seperti orang bisu... mungkin benar desas-desus bahwa kau tumbuh terkurung di dalam kastil selama ini. Apa itu benar?"
Merasakan napas Aran di tengkuknya, tangan Lethia menekan lengan pangeran itu, memaksakan jarak di antara mereka. Selendang yang disingkap ke atas bahu Lethia terjepit di bawah tangan Aran.
Jemari pangeran itu mencari, dan menemukan dagu Lethia. Lethia terkejut, walaupun sentuhannya lembut. Lethia dipaksa untuk mengunci tatapan, yang segera ia pecah dengan sebuah hentakan. Tangannya mengempas milik Aran, kukuh namun penuh ketakutan. Ia gemetar lebih hebat kini, dan Aran dalam genggaman tangannya jelas menyadarinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lapis Lazuli (COMPLETE STORY)
FantasyCOMPLETE STORY Silakan menikmati cerita ini dari awal hingga tamat! Arleth Blancia, seorang putri dari Luraxia, hanya ingin hari-hari yang damai bersama kakaknya. Aldebaran, seorang putra mahkota dari Gondvana, ingin membuktikan dirinya layak dengan...