05

108 15 0
                                    

.

Kencan

.

    Hari Jum'at, dimana kami semua punya waktu senggang lebih banyak. Biasanya aku bermain dengan Fanny ditemani Alucard dan Harith juga. Kami bermain basket di Gor, atau jalan-jalan keliling kota berburu jajanan enak di tepi jalan.

    Kadang Alucard mengajak Miya, gadis cantik itu malah menyibukkan diri dengan Harith, bukan dengan Alucard. Fanny juga suka mengusili Miya, dia itu tak pandang bulu dalam hal usil.

    Tapi sekarang beda lagi. Irithel sudah membuat janji denganku, katanya ia akan mengajakku jalan-jalan ke tempat wisata. Aku sedang menunggunya, tapi si Fanny yang tengah mengelap kaca malah menyemburiku dengan cairan pembersih itu. Kesal tau! Baju ini sudah ku beri parfum maskulin nanti malah berbau sabun dan basah-basah pula.

    "Berhenti, Fanny! Sebentar lagi Irithel akan sampai," kataku geram. Ia malah tertawa keras-keras sampai batuk, "pergi kencan tidak gratis bung! Kau harus belikan aku jajan."

    "Apa kamu bisa berhenti kecentilan, Fanny? Sekarang Claude itu sudah punya pacar. Tak usah membuat masalah untuk mencari perhatian." Irithel sudah ada di ambang pintu Cafe. Sejak kapan ia ada di sini? Dan apa katanya? Ia seperti merendahkan Fanny saja. Aku merasa tak nyaman dengan perkataannya.
   
    "Seperti tidak tau Fanny Weiting saja. Sana pergi, aku tak terima cacian hari ini," kata Fanny sambil berkomat-kamit. Tanganku digandeng dan dibawa sampai dekat Irithel berdiri, lalu aku dipaksa menggenggam tangan Irithel.

    "Tenang saja, Irithel. Aku takkan merebut pacarmu, kami hanya berteman. Saat pulang belikan aku jajan, kalian wajib bayar pajak," riang Fanny. Aku tersenyum tipis padanya, "Siap, kami pergi dulu, Fan."

    Ia melambaikan tangan seraya tersenyum lebar, mata hazelnya jadi garis lengkung. Irithel menarikku keluar cafe, tampaknya ia tak suka dengan Fanny.

    "Keluarga Weiting adalah yang paling mengesalkan di Moniyan ini," katanya. Aku menggaruk belakang kepala, itu memang benar sih. Tapi kalau mereka sayang pada seseorang, mereka akan menyayangi setulus hati, lihat saja perlakuan Tigreal ke Natalia jika tidak percaya.

    Se-judes dan dinginnya lelaki tegap itu, ia selalu membuat Natalia merasa nyaman dengan caranya sendiri. Hmmm, kalau Fanny bagaimana ya? Apakah ia akan berlaku nakal pada orang kesayangannya?

    "Claude? Kamu melamun," ucap Irithel. Aku gelagapan jadinya, "Y-ya. Pergi ke mana kita hari ini?"

"Ke taman kota. Bagaimana?"

"Aku belum pernah ke sana."

   "Kalau begitu, kamu harus ke taman kota hari ini." Ia tersenyum lebar, tapi tidak seperti Fanny. Ah, kenapa otakku selalu tertuju pada Fanny sih? Ayolah Claude, kau tidak gentleman sekali.

    Aku mengangguk, membiarkan gadis ini membawaku melangkah ke kerumunan orang. Aku terus menggenggam tangannya agar tak tersasar, mau bagaimana lagi? Aku kan orang baru di sini. Kampung halamanku saja terdapat di gurun, tak ada yang menarik di sana.

     Setibanya di taman kota Moniyan, Irithel hanya mengajakku berfoto sampai mulutku keram karena tersenyum terus. Ia juga mengunjungi teman-temannya yang sedang bersantai dan memamerkan kemesraan didepan temannya. Aku kaku sekali.

     Sebelum pulang aku menyempatkan diri untuk membeli Kind*erjoy dan susu uht. Irithel menghampiri ku, "Pasti untuk Fanny."

"Iya."

"Huuh."

"Kamu cemburu?"

     Irithel memalingkan wajahnya, "Tidak tuh." Kalau diperhatikan manis juga ya, "Pfttt, kami cuma teman. Tak usah dipikirkan," aku  merangkulnya. Ia tampak gugup tapi aku tak ambil peduli, "Ayo pulang, sudah mau malam."

.
.

     Lelaki tinggi dan wanita berkuncir setengah itu menghilang dari hadapan Fanny. Tangannya yang sedang memegang kain lap tua makin dieratkan. Senyum Fanny perlahan pudar dan digantikan oleh tatapan kosong nan suram.

     Fanny kembali mengelap kaca terakhirnya tanpa wajah ceria. Gadis itu membereskan peralatan bersih-bersih dan duduk di gazebo belakang rumah.

    "Kakak, kalau mau nangis jangan di tahan-tahan, jelek tahu mukanya," timpal Harith yang datang entah dari mana. Fanny mencoba tersenyum, tapi gagal, ia ingin sekali menangis.

    Bocah menggemaskan itu naik ke gazebo, ia dengan serta-merta memeluk erat Fanny, "Tak perlu pura-pura, Kak. Harith tau, loh. Nangis saja, di sini cuma ada Harith, nggak ada Kak Alu."

"Hiks, Harith, hhuuwweee."

    Fanny membalas pelukan Harith tak kalah erat, lelaki cilik itu mengusap punggung Fanny sayang, "Harith di sini, kalau ada masalah ceritakan saja, Kak."

"Hiks, kakak tidak apa-apa."

     Harith tau jika kakaknya tengah patah hati. Harith juga iba jika melihat Fanny sendirian terus, tanpa Tigreal dan teman. Kalau Harith jadi Fanny, ia akan melakukan hal yang sama, membuat masalah agar dapat perhatian. Sebab jika jadi orang normal, mereka akan acuh saja. Harith bersyukur punya kakak seperti Alucard yang selalu perhatian.

     Gadis pirang itu hanya terus menangis sambil meremat-remat baju Harith, "Nanti kakak akan dapat yang lebih baik."

"Tak perlu, kakak sudah biasa kok. Kalau hidup kakak lurus, bagaimana cara kakak kuat?"

"Memangnya kakak mau setiap hari bertingkah nakal? Tidak capek?"

"Sudah jadi kewajiban. Kakak belum mau mengeluh, Harith."

     Fanny mengelap air matanya, memutuskan untuk mengakhiri tangis. Ia menatap Harith teduh, "Terimakasih ya."

     Harith mengembangkan senyum, "Karena Harith sudah baik sama kakak, Harith mau minta pancake buatan kakak," ujar Harith. Fanny yang tengah mengelap pipinya memukul pelan Harith, "Ada maunya aja. Yasudah, ayo ke dapur, temani kakak."

     Sepanjang memasak, benak Fanny selalu pergi ke Claude. Mengapa ia terlalu mudah menangis jika lelaki itu pergi bersama Irithel? Padahal mereka hanya sebatas teman.

    Fanny sadar, ia ingin Claude mencurahkan perhatian lebih kepadanya. Mungkin faktor terbiasa kesepian lalu tiba-tiba dapat teman baru. Rasanya ada yang berbeda, dada Fanny sakit jika memikirkan Claude sekarang. Sebelum Claude punya kekasih, Fanny justru merasa senang saat memikirkan lelaki itu. Apa mungkin Fanny suka pada Claude?

    Selesai menemani Harith makan, gadis berkuncir ini merapikan dapur paman Franco dan pergi berkunjung ke rumah Miya sampai senja menghampiri.

"Titip salam untuk Harith dan Alucard ya. Kalau ada masalah datang saja ke sini, Miya siap menampung!"

"Iya, terimakasih banyak. Aku pulang dulu."

     Gadis platina itu menatap sendu ke bahu ringkih Fanny, berharap agar wanita pirang tersebut segera mendapatkan kebahagiaan, jika tidak, ia ingin Fanny selalu tegar dan tabah menghadapi kesunyian di jiwanya. Perlahan, Fanny hilang dari pandangan dan Miya pun masuk, lantas menutup lagi pintu rumahnya.

.
.

    Hati Fanny yang remuk tadi kembali utuh setelah menerima sekantung makanan manis dari lelaki bersurai cokelat itu. Sambil tersenyum lebar ia membukanya, "Terimakasih ya! Semoga lenggeng, hehe."

     Fanny sebenarnya tidak berniat mengatakan kalimat terakhir. Tapi basa-basi itu perlu, agar tak dicurigai, 'Kamu mengingatku sedikit saja, rasanya sudah senang sekali, Claude,' Batin Fanny. Senang tapi perih. Ah, bukan begitu. Fanny menyempatkan bersyukur dalam nelangsanya.

T
B
C

Ignorant PartnerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang