"Man, nonton, yuk?" Lani, teman sekelas Mandala, berbisik tepat ketika dosen Dasar Seni Film—Mas Hengky—mengakhiri kuliah panjangnya pagi itu. Lani duduk di belakang Mandala dan memposisikan tubuhnya sedemikian rupa agar tidak ketahuan Mas Hengky bahwa dia tidak memerhatikan kuliah. Tentu saja mereka yang duduk di samping kanan dan kirinya tahu bahwa sejak kuliah dimulai, Lani sibuk main HP, tetapi Mas Hengky yang terus mengoceh di depan sana, menganggap seluruh peserta di kelasnya memperhatikan kuliahnya. Apalagi yang duduk di barisan depan adalah orang-orang seperti Mandala, Fathur, Romi, dan Ayu. Mereka begitu serius sampai tidak tahu bahwa di belakang mereka ada begitu banyak kegiatan seru selama kelas berlangsung.
Mandala menunggu sampai Mas Hengky keluar kelas sebelum menoleh. Gadis yang menguncir rambutnya model ekor kuda itu nyengir lebar saat ditatap oleh Mandala, menampilkan deretan gigi terkekang behel merah mudanya. "Mau nggak? Hari ini kita cuma satu kelas, lho. Tumben banget, 'kan?"
"Emang kamu udah selesai ngerjain tugas skenario?"
"Hehehe," tawanya sambil melafalkan. "Belum, Man. Palingan besok."
"Deadline besok siang, Lan."
"Masih bisa dibikin pagi, kok. Bikin sinopsis kan gampang, Man. Cari aja di Google terus translate terus print, deh!"
Mandala menyipitkan matanya. "Tugas Dasar Televisi?"
Lani bengong.
"Kayaknya dia nggak tahu ada mata kuliah Dasar Televisi, Man," celetuk Ayu yang duduk di sisi kiri Mandala. "Gue pinjem catetan tadi dong, Man. Sama sekalian catetan sinematografi minggu lalu."
Mandala mengangguk lalu menyerahkan buku catatannya pada Ayu. "Kalau mau kamu foto aja, Yu."
"Oh, boleh? Makasih, Man," ujar Ayu yang segera memotret berlembar-lembar catatan Mandala. Mumpung diberikan akses, Ayu sekalian memotret catatan dari awal pertemuan Dasar Seni Film.
"Tugas Dasar Televisi lumayan lho, Lan," lanjut Mandala yang membereskan sisa barang-barangnya lalu menjejalkannya ke dalam tas. "Aku kelewatan sehari, nih."
"Tugasnya yang mana, sih?" Lani menarik lengan Romi yang masih duduk di tempatnya. "Lo udah, Rom?"
Romi menoleh. "Tinggal nge-print. Gue ambil channel TV kabel, jadi dalam seminggu jadwalnya itu-itu doang. Lo channel apa, Man?"
"Channelnya Bu Ana," jawab Mandala sambil menghelakan napasnya. "Ibuku di rumah cuma mau nonton channel itu. Sekalian minta Ibu untuk nyatet jadwal acara yang nggak kepantau."
Romi tertawa. "Sabilah, ya." Sambil menggemblok tas ranselnya, dia berdiri. "Semangat deh, Man. Semoga dia nggak jeli-jeli amat ngeliatin segitu banyak program TV punya 30 orang. Yuk, gue duluan, Guys."
Ayu selesai memotret catatan yang dia butuhkan. Gadis berhijab itu segera mengembalikan buku Mandala sebelum dia keluar kelas.
"Jadi lo nggak mau nonton, nih?" tanya Lani dengan nada lemas. Tubuhnya terkulai, kepalanya kini terbenam di atas tas. "Dari awal filmnya tayang gue udah ngajak lo nonton, tapi lo sibuk banget. Makanya jangan sok available, Man, diangkat jadi PJ lomba, deh."
"Bukan sok available," kilah Mandala cemberut. "Kamu kan tahu itu dipilih acak waktu kelas fotografi, Lan. Kalau tahu bakal ribet dan mondar-mandir juga aku pasti nolak."
Lani terkekeh lalu mengusap lengan Mandala. "Iya, iya, Man. Gue ngerti, kok. Jadi gimana? Mau, 'kan? Ngerjain tugasnya kan bisa nanti. Oh! Atau gini aja. Kita makan seblaknya Mang Cinta, yuk? Nggak usah nonton, deh."
Mereka berdua keluar ruang kelas dan beriringan berjalan menuju pelataran parkir. "Ya, udah. Makan aja, ya? Habis itu aku balik."
"Hehehe." Lagi-lagi Lani tertawa sambil mengacungkan jempolnya. Sigap dia mempercepat langkahnya menuju motor pink yang dia parkir tepat di bawah pohon. Dia oper satu helm berwarna putih untuk Mandala dan yang pink untuk dia pakai sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Secangkir Kopi dari Mandala
Literatura Feminina[21+] [Chicklit / Romance / Medicine] [Follow + Vote + Komen = Early update!] Seorang dokter muda yang patah hatinya. Seorang mahasiswi yang menghidupi buah hatinya. Mereka bertemu tanpa sengaja dan berbagi kisah suka dan duka. Sejak pertemuan itu...