"Perkataan gila!"
"Itu bukan perkataan gila! Itu perkataan fakta!" balasnya.
"Kau ingin menyerah, agar kita menjalani tes selama dua puluh empat jam? Dan dikejar oleh Febri?"
"Setidaknya kita bisa membuat strategi untuk bertahan besok."
Masuk akal, tapi aku tidak mau mengulang Tes Awal ini lagi. Berlarian sambil dikejar-kejar seperti ini membuat stres. Aku ingin pulang saja dan meninggalkan apapun yang berbau Hamia.
"Aran, kakiku sudah tidak bisa diajak kompromi," akunya.
Sebenarnya kakiku juga.
Lari kami melamban. Jarak kami dengan para makhluk di belakang semakin dekat. Delapan meter. Tujuh meter. Enam meter. Lima meter. Empat meter. Tiga meter.
"Aran, bagaimana ini?"
Lalu sesuatu terjadi pada kami berdua, tepat sebelum cengkeraman kaki depan Wahid dan Nino menerkam kami berdua. Lari kami tiba-tiba melesat lebih cepat dari sebelumnya. Makhluk-makhluk di belakang tertinggal sejauh puluhan meter.
"Tristan," aku meliriknya. Ada perasaan bergejolak dalam tubuhku. Mirip perasaan semangat yang membuat rasa lelahku menghilang. "Lihat kakimu," ujarku.
Dia menunduk ke arah bawah. Ada sesuatu mirip sarung tangan baja hitam yang waktu itu tiba-tiba muncul di tangannya. Bedanya, kali ini membalut bagian bawah celananya (atas lutut), sampai ke ujung jari kakinya. Seperti bagian bawah baju zirah, namun berbentuk lebih, menarik ketimbang zirah abad pertengahan, dan terlihat tidak berat.
"Wow," decaknya. "Ini sepatu bot."
"Aku pikir itu bagian bawah dari baju zirah."
"Oh," responsnya. "Dan lihat bawah kakimu. Apa itu hangat?"
Aku melihat ke bawah. Kakiku sedang terbakar hebat (dari mata kaki ke bawah). Tapi aku masih bisa merasakan sandal gunung yang melekat di kakiku. Api ini tidak menyakitiku. "Tidak sama sekali."
"Sepertinya kita berdua akan berhasil sekarang." Tristan terdengar sangat percaya diri. Bibirnya tersenyum miring.
Aku membalas tersenyumnya. Aku juga merasa percaya diri, bahwa kami berdua pasti akan berhasil kali ini. Lagi pula aku tidak mau mengulang tes ini besok. Waktunya jadi dua puluh empat jam dan Febri langsung yang akan menjadi Pengejar.
Kami terus berlari menuju pohon tertinggi. Jarak yang seharusnya kami tempuh sekitar satu jam, bisa kami tempuh kurang dari dua puluh menit. Mungkin. Itu hanya asumsiku saja. Aku masih belum tahu waktu yang tepat, jam tanganku masih tidak berfungsi dan aku tinggalkan di Kamar Surga.
Kami memanjat pohon setinggi seratus meter itu dengan cepat, tidak sampai tiga menit, kami sudah sampai di atas. Enam makhluk lain masih tertinggal jauh.
Febri berbalik ke arah kami berdua. Ada sebuah busur panah aneh yang terbakar di tangan kirinya. Sepertinya terbuat dari tulang belulang, ada ukiran rangka-rangka tulang di beberapa bagiannya. Dan ada yang aneh, tangannya tidak terluka oleh api tersebut——seharusnya itu tidak aneh lagi bagiku, mengingat kakiku sedang terbakar dan aku tidak merasakan apa-apa.
"Hebat. Kalian memaksa kepemilikan kalian muncul," katanya, tidak ada ekspresi wajah kagum di wajahnya. Hanya ekspresi datar dan dingin seperti biasanya. "Tapi, kenapa kalian datang ke mari?"
Tristan akan membuka mulutnya. Tapi dia terdiam dan malah melirikku. Aku juga tidak bisa menjawab. Berlari ke mari adalah rencana dadakan karena kami tiba-tiba ditemukan oleh Yeti.
"Waktu kalian masih tersisa sekitar empat puluh lima menit lagi sampai matahari terbenam," ucapnya. Kemudian dia seperti mengingat sesuatu. "Oh iya, aku lupa, jika kalian mengalahkan Pengejar kalian, aku yang akan turun tangan untuk mengejar kalian. Jadi..." Dia mengarahkan busur panahnya ke arah kami.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aran Alali #1: Hujan Darah Iblis
Фэнтези[SELESAI] [FANTASI] [13+] "Aku pikir, hidupku normal seperti remaja empat belas tahun lainnya. Hanya memusingkan tentang pacaran, jerawat, bermain, dan sebagainya. Tapi, hidupku lebih daripada itu." Aran, seorang remaja yang kehidupnya seketika ber...