Libur kenaikan kelas telah usai. Tahun ajaran baru lantas menyambut dengan buku-buku baru. Mungkin akan sangat nyaman bila dinikmati dengan liburan bersama keluarga atau sekedar meringkuk di kasur berhari-hari. Opsi kedua sangat ingin dipilih gadis itu. Malahan jika bisa ia menjelma jadi bantal saja, lantas menjadi empuk. Tetapi waktu berkata lain saat tumpukan kardus itu menumpuk di ruang tengah.
"Mama serius mau pergi?"
Wanita yang diperkirakan berusia empat puluh tahun lebih itu menoleh, kemudian mengangguk sambil melihat sang putri, "Iya, sayang. Ini urusan pekerjaan."
Gadis bercelana abu-abu itu memanyunkan bibir--seperti bebek. Benar. Harapannya untuk ikut bersama orang tuanya ke luar kota sudah pupus sejak jauh-jauh hari. Tidak bisa di nego-nego. Lantas menuruni tangga rumahnya lalu berdiri di depan sang ibu, "Aku nggak boleh ikut, ya Ma?"
"Nggak bisa. Kamu kan udah kelas dua belas, setahun lagi kamu lulus. Nanggung kan kalau kamu pindah?" ibunya memberi pertanyaan yang gadis itu sudah tahu jawabannya. Menghela napas panjang lalu mengalihkan pandangan menuju sang ayah. Yang ditatap pun langsung maju dan mengelus surai anaknya, "Kamu nggak akan sendiri, Yuna. Lagipula kakakmu juga ada."
"Iya," Yuna menjeda ucapannya, "Tapi kakak di asramanya, kan?" Ini kali pertama bagi Yuna jauh bersama orang tuanya dalam waktu lama. Sang ayah telah mendapatkan projek besar dan sebagai sekretaris pribadi, sang ibu yang menjabat harus ikut. Terhitung ini sudah kali ke berapa orang tua Yuna pergi ke luar kota. Selama ini sang kakak lah yang selalu menemani, membuat Yuna jadi merasa aneh jika harus ditinggal sendiri--di rumah teman orang tuanya.
"Lagipula Bibi Sana dan Paman Daniel itu kan baik. Mama yakin kamu aman," ucap ibunya meyakinkan.
Yuna ingin menjelma jadi tas saja, lantas di bawa dan di tenteng ke mana-mana tanpa harus memikirkan nasib sekolahnya. Yuna mengangguk, "Iya, Ma."
"Anak pintar," puji sang ibu, "Siap-siap sana. Sebentar mereka datang buat jemput kamu."
Yuna mengangguk dan segera ke kamarnya. Selama melakukan aktivitasnya di kamar, kepala Yuna masih memikirkan nasibnya ke depan. Bukan nasib buruk, tidak sama sekali. Hanya saja ini kali pertama Yuna akan menginap di rumah orang asing. Bahkan Yuna tidak tahu siapa saja yang tinggal di sana. Yang ia hanya tau cuma kedua orang itu. Selebihnya? Tentu tidak.
Yuna ingin sekali menolak mati-matian. Bahkan dari jauh hari, Yuna sudah meyakinkan orang tuanya untuk tinggal sendiri. Tapi ditolak. Berakhir dengan Yuna yang membanting pintu kasar dan menangis. Sang ibu--Mina--sudah tahu sikap anaknya yang keras kepala. Maka membiarkannya menenangkan diri dan berpikir adalah pilihan yang baik.
Yuna segera keluar dan turun ke ruang tengah. Duduk di atas sofa sembari menggoyang-goyangkan kakinya. Bisa dibilang Yuna itu tidak anggun sama sekali. Bahkan pakaian yang digunakan hanyalah jeans dan kaos kuning yang bagian depannya sengaja di masukkan ke celana. Hanya saja, penampilan dan sikap tentu berbeda. Yuna adalah perempuan, dan tentu saja sikapnya sebagai seorang perempuan masih melekat. Yuna tetap suka berdandan meski itu jarang. Memakai dress pun hanya hitungan jari seumur hidupnya.
Suara bel berbunyi, membuat Mina membukakan pintu dan segera mempersilahkan pasangan suami istri itu masuk. Keduanya duduk di atas sofa, berhadap hadapan dengan Mina dan Yuna yang duduk sejajar.
Yuna menelan ludah. Kenapa dia seakan ingin diadopsi? Seakan akan ibunya ingin menyerahkan Yuna ke kedua orang itu. Nyatanya benar. Hanya saja untuk yang pertama itu sedikit salah.
KAMU SEDANG MEMBACA
224
FanfictionYuna hanya ingin bebas dari gangguan Jeonkuk, dan Jeonkuk hanya ingin bebas dari segala bentuk ledekan Yuna. Jika tidak kepala Jeonkuk bisa botak.