[ 05 ] Eustace Clarence

1.1K 179 42
                                    

Hari yang cerah, semangat baru, dan juga petualangan yang baru. Tampak para awak kapal sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing. Caspian sedang sibuk berunding dengan sang kapten. Lucy menjahit rompinya. Sedangkan aku duduk di sebelah Edmund, memperhatikan dirinya yang sibuk membersihkan pedang yang diberilan oleh lelaki tua saat masih berada di Lone Islands.

Eh, aku lebih tertarik melihat pedangnya sih...

Edmund mengangkat pedang itu setelah separuh pedang itu dibersihkan dan menatapnya, aku juga demikian.

"Pedang yang bagus." Ucapku.

"Ya, ini pedang yang luar biasa. Apa mereka tak membuat pedang ini dalam ukuran kecil?"

Aku tertawa kecil melihat Reepicheep yang berada di sebelahku, menatap kagum pedang yang dipegang Edmund.

"Entahlah, mungkin ada?" Jawab Edmund yang kembali membersihkan pedangnya.

"Pss, Ed." Aku sedikit menyenggol lengan Edmund.

"Ya, sayang?"

"Menurutmu--- Ha? Wait! Kau bilang apa?" Aku menatap Edmund yang hanya berhmm pelan, fokus dengan pedang yang dibersihkannya.

Hmm mungkin aku salah dengar.

"Ed, menurutmu Eustace itu tidak benar-benar berbicara pada burung itu kan?" Aku menahan tawaku melihat Eustace yang terus berbicara dan tak mendapatkan respon dari lawan bicaranya.

Edmund melirik sekilas pada Eustace. "Entahlah. Memangnya kenapa?"

"Entah mengapa aku merasa burung itu tak bisa bicara. Tapi dia terus berbicara pada burung itu. Lucu saja rasanya." Ucapku tertawa pelan.

"Kau begitu memperhatikannya, ya?"

"Hm? Apanya?"

"Tidak ada." Edmund kini mengangkat pedang yang telah dibersihkannya. "Selesai."

Aku melihat pedang tersebut. Benar kata Reepicheep, pedang ini luar biasa.

"It's cool."

Aku mengangguk setuju pada ucapan Edmund. Tiba-tiba saja terjadi keributan di kapal. Sontak aku pun berdiri, melihat apa yang terjadi di kerumunan para awak kapal.

Dan ternyata Eustace.

Dia sedang bermain pedang dengan Reepicheep. Aku hanya menggelengkan kepalaku dan kembali duduk di sebelah Edmund.

"Eustace, bukan?" Tanyanya.

Aku mengangguk. Edmund menghela nafas. "Masalah apa lagi yang dia buat." Edmund berdiri dan ikut bersama dengan kerumunan awak kapal.

Aku hanya duduk diam, tidak tertarik dengan permainan pedang Eustace. Permainan pedang Eustace seperti mengayunkan kapak yang akan memisahkan batang kayu dari akarnya. Namun terdengar suara teriakan yang sukses membuat beranjak dari tempat dudukku dan pergi ke arah sumber suara.

Seorang anak perempuan keluar dari salah satu keranjang di depanku. Ternyata dia adalah anak dari orang yang meminta untuk ikut serta berlayar, mencari istrinya.

"Sepertinya kita mendapatkan tamu lagi." Ucap kapten sambil memberikan sebuah jeruk padanya. Anak itu menerimanya dengan tersenyum.

"Welcome." Lucy datang menghampirinya.

"Your majesty." Anak perempuan itu memberikan hormat padanya.

"Panggil aku Lucy."

"Siapa namamu?" Tanyaku menunduk, menyetarakan tinggi badanku dengannya.

"Gael."

"Hi Gale. I'm Herminia." Aku merapikan anak rambutnya dan tersenyum. "Ayo, akan aku bawa kau beristirahat. Kau capek bukan seharian duduk di keranjang itu?"

Gael mengangguk pelan. Aku pun menggenggam tangannya, membawanya ke kamar tempat aku dan Lucy beristirahat. Lucy menyusul di belakang.

Sesampainya di kamar, Gael langsung membersihkan dirinya dan berganti pakaian. Dia juga mengisi perutnya yang kosong, setelah itu dia tidur dengan lelap di atas kasur.

Aku duduk di tepi kasur, mengelus pelan kepalanya. Ya.. aku jadi rindu ibuku.

"Herminia, apa kau mau tetap di kamar atau ikut keluar?" Tanya Lucy yang berada di depan pintu, hendak keluar.

"Aku akan menyusul."

Aku beranjak dari tempat dudukku dan menyelimuti Gael yang terlelap. Setelah itu aku menyusul Lucy keluar.

Sejauh ini keadaan di kapal damai-damai saja. Tak ada ocehan dari Eustace. Eustace sedang sibuk dengan buku diarynya, tangannya tak berhenti menulis di bukunya itu.

Aku menghampiri Eustace dan duduk di sebelahnya. Eustace sedikit terkejut dengan kehadiranku, namun dengan segera dia kembali fokus dengan buku diarynya.

"Apa yang kau lakukan?" Tanyaku basa-basi.

"Aku sedang menulis setiap kejadian yang terjadi padaku hari ini umm.." Eustace menoleh ke arahku. "What's your name?"

"Kau tidak tau namaku? Yang benar saja." Aku tertawa kecil melihat reaksi Eustace. "Herminia. Namaku Herminia. Jangan lupakan namaku." Aku menepuk pelan pundak Eustace. Dan Eustace sedikit bertingkah agak aneh? Ya entahlah, aku tak peduli.

"Apa kau tidak merasa ketakutan saat berada di sini? I mean, you see that mouse. Dia bisa bicara. Dan juga kepala banteng itu." Tanya Eustace yang menatap sekelilingnya.

"Hmm tidak. Aku malah senang rasanya bisa berada di sini."

"Bagaimana bisa?" Kini dia menoleh ke arahku.

"Bagaimana aku tidak senang berada di tempat impianku? Aku selalu ditentang oleh dad jika aku berurusan dengan laut, kapal, pedang. Entah alasan apa yang membuatnya seperti itu. Dia sampai tega menjauhkanku dari semua itu. Sudah setahun. Aku merindukan semuanya. Laut, kapal, pedang... sampai aku tidak sengaja bertemu Lucy dan tiba di sini."

"Padahal dad lah yang membuatku jatuh cinta pada mereka. Tapi sekarang dia lah yang membuatku merasakan sakit hati yang teramat dalam."

"Maka dari itu aku senang berada di sini. Hanya saja aku takut... aku takut ini hanyalah mimpi." Aku mengusap pipiku yang basah. "Aa- kenapa aku malah cerita padamu, sih? Kau kan mulut ember."

Eustace mengelus pelan pundakku. Menenangkanku. "Aku juga berpikiran hal yang sama denganmu. Tapi ini terasa begitu nyata untuk mimpi."

"Lagipula, kenapa kau menyebutku mulut ember, mulut besar, bla bla bla. Jika kalian menyebutku karena aku ini banyak bicara, itu julukan yang salah. Aku banyak bicara karena aku ini pintar. Julukan itu cocok untuk kalian yang suka bicara omong kosong. Kalau aku membicarakan fakta."

Bwahhh dia mulai lagi ngocehnya. Biasanya aku akan kesal, tapi ini aku malah tertawa kecil mendengar ocehannya.

"Btw kau itu teman Lucy?"

"Ya, sahabatku saat taman kanak-kanak. Hah, jujur saja, aku tidak menyangka bisa bertemu dengan dia. Dulu dia imut sekali. Rambutnya yang panjangnya hanya sampai sebahu, dengan jepit kecil di depan. Senyumnya yang membuat pipinya terlihat seperti bakpao..." Aku menoleh pada Lucy yang tersenyum dan membantu para awak kapal yang kesusahan dari jauh. "Sekarang dia terlihat lebih dewasa, cantik, kuat.."

"Bagaimana dengan Edmund?"

"Edmund? Emm aku baru bertemu dengannya saat aku tak sengaja bertemu dengan Lucy waktu itu."

"Really?" Tanyanya.

"Ya. Memangnya kenapa?"

"Nothing. Hanya saja kalian terlihat sangat dekat, ku kira kalian berteman lama. Atau itu hanya perasaanku saja?"

"Terlihat seperti itukah?"

"Ya. Tapi aku harap tidak." Ucapnya yang kini kembali fokus pada diarynya.

Aku sedikit mengeryitkan dahiku. Bingung dengan maksudnya. Tapi ya masa bodo lah, aku sekarang lebih tertarik melihat Edmund yang berada di tempat kemudi kapal bersama Caspian dan kapten.

Saat tatapan kami tak sengaja bertemu, Edmund dengan segera menghindari kontak mata denganku. Raut wajahnya tampak tak bersahabat. Mungkin dia sedang tak enak badan?

Explore Your Heart【Edmund Pevensie】Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang