Tragedi

9 1 0
                                    

00.12

Malam itu awan menangis, beberapakali memuntahkan kilat yang beradu dengan gemuruhnya. Hawa dingin memasuki jendela kamarku yang sedikit terbuka, menusuk tulang meski aku telah bergelung di dalam selimut. Angin itu membangunkanku, seolah memaksaku untuk beranjak dari tempat tidur, entah kenapa lampu tidurku mati dan semua rumah terasa  gelap. Ketika cahaya kilat meraba kamarku dari jendela yang hanya tertutup tirai tipis, tanganku gesit menarik loker nakas lalu mengambil ponsel, menyalakan senter otomatis kemudian berjalan menutup jendela yang sedikit terbuka.

20.12
Entah kenapa dimeja makan kali ini terasa hampa, tidak ada satupun yang membuka percakapan, padahal biasanya kami saling bertukar cerita tentang peristiwa menarik apa yang masing-masing alami seharian. Semuanya hikmat dalam kunyahan dan kelebat pemikiran yang terus beradu. Wajah orang tuaku seperti pucat pasi, pelipis ayahku berkeringat sebesar biji jagung, sedangkan ibu beraut binggung seperti memikirkan sesuatu yang seolah menakutkan.

Aku sengaja menjatuhkan gelas, menyikut seolah tidak sengaja, kemudian kami saling bertatapan. Hanya respon tatapan, tidak lebih. Seperti tatapan yang sulit diartikan hingga pada akhirnya jari-jariku meraih serpihan kaca, bermaksud untuk membersihkan kekacauan yang ku sengaja. Sebelum jariku menyentuh serpihan kaca, tiba-tiba Ayah berdehem dan seperti hendak membuka pembicaraan.

Aku mulai antusias namun Ayah hanya mengatakan

"Selepas makan jangan lupa membersihkan piring kalian seperti biasa, dan jangan lupa gosok gigi sebelum tidur. Dan yaa Zoe, jangan sampai kau berdarah, ingat itu.  Dan soal gelas pecah biarkan bibi yang membereskan pecahan gelas itu"

Hanya kalimat itu yang terlontar dari bibir ayah. Adikku yang hendak berkemah sudah dulu bersemangat menandaskan makananya lalu beranjak menyuci piring dan setelahnya ia menuju kamar, melanjutkan acara packing untuk berkemah besok, Ayah dan Ibu juga sudah selesai sesudah adikku, dan akulah yang terakhir mengisi ruang makan dengan penuh tanda tanya besar membuatku tidak berselera untuk makan. Dan soal ayah melarang ku terluka, karena katanya setelah terluka darahku mengundang roh jahat yang menginginkan keabadian. Entahlah aku juga belum pernah apakah itu hanya sebuah kalimat untuk menakut-nakuti ku entahlah, anehnya ayah mengatakan hal tersebut ketika aku berusia lima tahun, tepat dihari ulang tahunku.

Entah percaya atau tidak, entahlah meski ayah melarangku, namun itu hanya beberapa tahun yang lalu ketika usiaku masih lima tahun. Apakah itu bentuk kekhawatiran ayah atau hanya cara menakut-nakutiku, entahlah aku juga tidak tahu. Apa mungkin saat ini ketika usia ku telah sembilan belas tahun adalah waktu yang tepat untuk bertanya. Terlihat begitu bodoh bukan diriku, seharusnya bertanya jauh-jauh hari, namun malah diusia ku yang mendekati angka bulat malah baru bertanya.

23.00

Aku tidak bisa tenang. Dari pukul 20.30, hingga sekarang mataku sulit untuk terpejam. Lampu sudah kumatikan, dan ponsel sudah kujauhkan, tetap saja otakku berisik membangunkan mata. Setiap kali terpejam, entah mengapa justru bayangan-bayangan aneh yang muncul, seolah imajinasi mengendalikanku.

Hingga akhirnya aku beranjak ke kamar mandi untuk buang air kecil dan mencuci muka. Perutku meraung, rasa penyesalanku timbul, kenapa makan malam tadi aku hanya makan sedikit. Kakiku berderap lirih menuruni tangga, ketika sampai dapur aku segera membuka tudung saji, ah untung saja masih tersisa meskipun hanya sedikit. Satu Paha ayam goreng dan steak sapi yang sangat kecil, serta sayur bayam berkuah. Setelah menandaskan semua aku mengambil satu mika berukuran sedang yang berisikan buah strawberry segar dari dalam lemari pendingin.

Seberapa mungkin aku berusaha tidak berisik karena suasana rumah sangatlah hening. Namun ketika melewati kamar ayah dan ibu aku mendengar mereka berbincang-bincang dengan nada pelan. Aku mengambil satu buah strawberry kemudian menggigit setengahnya, mengunyahnya sambil berfikir hingga kemudian aku berani mengumpulkan nyali untuk mengetuk pintu.

"Tok tok ayah...ibu..."

"Cekrekkk"

Pintu terbuka dan Ibu berbisik menyuruhku dalam keadaan masih duduk diatas ranjang bersama Ayah. Aku hanya terheran, karena kukira daun pintu terbuka karena dibuka Ibu namun ternyata terbuka sendiri. 'Apakah pintu kamar ini telah dirubah menjadi otomatis hanya dengan control jauh?' Batinku.
Duduklah nak, aku duduk di pinggir ranjang dekat ibu, kemudian Ayah memegang tangan Ibu, dan Ibu membisikkan sesuatu kepadaku dan memegang pundakku, entah apa yang dibisikkan karena setelahnya aku hanya melihat kegelapan.




Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 17, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Deep CrushTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang