09 ~ Solidaritas

314 75 0
                                    

Saat teman sudah rasa saudara.
Saat perasaan saling peduli mulai mendarah daging.
Dari situlah solidaritas akan berkembang.
Enyahkan benci, saling melengkapi.
Tinggalkan egoisme, tingkatkan patriotisme

(L.K)

🍁🍁🍁

Selepas mengisi di kelas XI IPS 1, Biru kembali ke ruang konseling dengan kepala yang berdenyut. Kepalanya mendadak pusing sebelah setelah menghadapi anak-anak dari rekan kerjanya, Ardan.

Dia tidak habis pikir bagaimana mereka menjalani kehidupan ini. Saat Biru muda, untuk menyela lawan bicara yang lebih tua saja dia masih berpikir keras. Dia merasa tidak sopan dan takut dicap sebagai anak tidak tahu diri.

Lain halnya dengan anak didik yang baru saja dihadapinya, mereka lepas begitu saja dalam bersuara. Meski itu tampak seperti perlawanan, tetapi yang mereka anut adalah asas demokrasi yaitu kebebasan berpendapat.

Jangan-jangan ini yang namanya kecipratan karma dari nakalnya teman-teman. Ibarat peribahasa, nggak ikut makan nangkanya, tapi kebagian getahnya. Ah, nasib-nasib begini amat, ya? batin Biru berteriak keras. Lelaki itu bahkan menghentak kakinya beberapa kali dan menepuk jidatnya sendiri karena tidak tahu harus bagaimana melampiaskan rasa kesalnya ini.

"Asalamualaikum, Pak Biru panggil saya?"

Suara salam yang diucap siswa tersebut memaksa Biru untuk kembali menjaga wibawa dan menormalkan lagi ekspresi wajah kesalnya. "Hm, sudah bangun? Temannya yang bangunin apa bangun sendiri?"

"Bangun sendiri, Pak. Tadi Yuda yang bilang kalau Pak Biru ingin bertemu saya. Ada apa, Pak? Saya ada salah?"

"Salah? Nggak ada, kok. Pak Biru hanya ingin kenal kamu lebih dekat. Kenapa tidurmu pulas sekali? Padahal tadi teman-teman ramai, tapi kamu nggak merasa terganggu."

"Maaf, Pak, saya nggak nyimak waktu di kelas."

"Asal pada waktu jam saya yang ngisi, kamu boleh tidur, Ndre. Saya nggak akan bangunin siapa saja yang tidur pas jam saya. Pantang bagi saya mengurangi nikmatnya tidur karena saya juga tidak tahu apa yang membuatnya kelelahan sampai tertidur seperti itu."

"Saya kerja, Pak. Sepulang sekolah nanti saya di tempat sortir biji kopi, dan menjelang pagi harus ke tempat penyembelihan ayam untuk cabut bulu-bulu ayam sebelum diantar ke pasar induk."

"Bukannya semua itu bisa dilakukan dengan mesin?"

"Kalau pakai mesin saya dapat penghasilannya dari mana, Pak?"

Percakapan keduanya berlanjut sampai pada latar belakang keluarga Andre yang ternyata memang kurang mampu. Biru tersentuh karena Andre rupanya sedikit berbeda dari anak didik lainnya.

Siswanya ini benar-benar hidup dari belas kasih orang lain. Dia yang memang hanya tinggal berdua dengan bibinya. Ibunya merantau dan berkeluarga lagi di negara tetangga, sedangkan ayahnya sudah tiada sejak Andre duduk di kelas 5 SD.

"Kerja sekarang itu untuk makan sekarang, Pak. Entah bibi atau saya yang dapat duluan baru kalau ada sisa nanti buat beli bensin."

"Jadi itu alasan kamu sering bolos? Karena kehabisan bensin? Mulai besok, bilang sama Pak Biru kalau sekiranya nggak cukup uang untuk isi bensin buat motor."

"Terima kasih, Pak. Maaf kalau saya banyak merepotkan."

"Nggak apa-apa, Ndre. Kamu bilang saja sama Pak Biru."

Biru melirik jam di dinding, sekitar setengah jam lagi bel pulang akan berbunyi. Setelah Andre kembali ke kelasnya, Biru bergegas menelepon sang ayah dan menanyakan perihal beasiswa yang sering diluncurkan untuk menjaring minat anak sekolah.

Memiliki Kehilangan ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang