15 tahun kemudian~
Gerimis kembali turun malam ini, mengundang hawa dingin masuk ke dalam rumah kecil tanpa penghangat ruangan itu. Lampu yang remang-remang membuktikan betapa sulitnya mereka untuk membayar tagihan listrik. Belum lagi atap-atap yang bocor mengakibatkan tetesan-tetesan air hujan ikut membuat genangan-genangan yang sudahbdi tampung agar tidak merembas kemana-mana.
Jika sudah masuk musim hujan seperti ini, maka mereka harus bersiap untuk menghadapi datangnya angin kencang atau hujan deras yang bisa saja memperparah keadaan rumah mereka. Namun karena sulitnya ekonomi, mereka dengan bermodal keberanian enggan untuk meninggalkan rumah sederhana itu.
Hanya terdapat dua kamar, dan dapur yang menyatu dengan ruang tengah. Perabotan pun seadanya, apalagi barang-barang berharga, mereka tak punya. Hanya beberapa piala penghargaan dari si bungsu yang berjejer rapi di atas meja kayu yang mulai termakan usia. Selebihnya tidak ada benda yang patut untuk diberi harga tinggi.
Hana_ ibu rumah tangga yang sekaligus memikul tanggung jawab mencari nafkah; setelah sang suami lepas tanggung jawab. Tampak memijit pelipisnya yang tiba-tiba pening jika mengingat keadaan ekonominya yang semakin sulit. Ditambah hutang suaminya yang kian hari kian bertambah. Sedang usahanya kini hanya sebatas buruh cuci di beberapa rumah yang jarak tempuhnya saja memerlukan biaya hampir setengah dari upahnya bekerja seharian.
"Bu, Rangga udah pulang?" Tanya anak gadis satu-satunya, yang baru saja keluar dari ruangan yang bisa disebut sebagai kamar tidur.
Wanita itu berdecih, kemudian kembali fokus pada obat sakit kepala di tangannya.
"Ibu," panggil si gadis sekali lagi.
Hana- wanita itu menghela nafas. " kenapa kamu nanyain anak itu ke ibu?!"
Nadia, putri dari Hana yang kini berusia 22 tahun mendekat ke arah ibunya. "Dia adik aku Bu,"
"Faktanya dia bukan adik kamu, Nadia!" tekan Hana.
Nadia mendengus, lima belas tahun lamanya Rangga menjadi salah satu anggota di keluarga kecilnya. Namun, sang ibu belum juga bisa menerima anak yang sekarang sudah tumbuh menjadi remaja tampan itu. Baru saja ia akan melangkah kembali memasuki ruang kamar, tetapi keberadaan kasur tipis yang masih terlipat rapi di depan TV menghentikan niatnya.
"Rangga beneran belum pulang?" tanya Nadia entah pada siapa, karena sudah pasti ibunya tidak akan peduli, ralat- ia tidak akan pernah peduli. "Aku mau cari Rangga dulu." Nadia melangkah menuju pintu, tanpa menghiraukan panggilan sang ibu yang memintanya untuk kembali ke kamar.
Angin malam menyapa kulitnya ketika ia membuka pintu, belum lagi gerimis yang masih setia menemani sang malam, membuat rasa khawatirnya semakin menjadi. Tadi siang ia memang tidak berada di rumah saat adiknya itu pulang dari sekolah, dan ia malah ketiduran sampai larut dan lupa apakah adik satu-satunha itu sudah pulang atau belum.
Kaki itu sudah akan meninggalkan rumah sebelum netranya menangkap sosok adiknya yang meringkuk di samping pintu. Mata dengan bulu-bulu lentik remaja itu terpejam, entah tidur atau tidak. Wajahnya juga tampak pucat, membuat kekhawatiran Nadia semakin menjadi.
Disentuhnya pipi tirus remaja tersebut, yang aman sensasi dingin langsung terasa begitu telapak tangannya menyentuh permukaan kulit pucat itu.
"Dek?" Panggilnya.
Tidak ada respon sama sekali, membuat Nadia menjadi gelisah. "Rangga!" Serunya sambil mengguncang tubuh itu pelan.
"eungh," mata hazel itu menatap sayu ke arah Nadia, "K-kakak?" lirihnya.
Gadis itu tersenyum tipis, dielusnya rambut lembab adiknya."Masuk yuk, di sini dingin," ujarnya sembari membantu memapah remaja itu untuk masuk ke dalam.
Tubuh Rangga itu cukup kurus, tingginya pun di bawah rata-rata. Tetapi, wajah anak itu kadang membuat kaum hawa merasa iri. Hm, bayangkan saja. Semua yang diimpikan kaum hawa, ada pada dirinya selaku kaum Adam.
Rangga memiliki bulu mata lebat, dan pupil yang berwarna cokelat terang. Hidungnya lumayan mancung, dengan bibir yang merah alami. Warna kulitnya pun lebih putih dibanding kaum lelaki pada umumnya.
"Kamu udah makan?"
Rangga diam untuk beberapa saat, namun segera mengangguk dan tersenyum tipis begitu matanya menangkap raut khawatir di wajah sang kakak.
"Kamu ngga coba bohongin Kakak 'kan?"
"Aku udah makan kok, Kakak tenang aja," yakinnya sembari tersenyum lebar.
"Ngapain kamu bawa masuk anak itu?!" teriak Hana, begitu keduanya hendak melewati dapur.
Nadia berusaha tak acuh, ia tetap membawa tubuh adiknya masuk ke dalam kamarnya, "malam ini kamu tidur di sini, kakak gak nerima bantahan."
"T-tapi,"
"Ibu ngga akan marah, biar kakak yang ngomong. Ganti baju mu lalu tidur," potong Nadia.
Rangga mengangguk kaku, tubuhnya lemas karena berada di luar rumah hampir 3 jam lamanya. Apalagi ditambah dengan suhu dingin dan gerimis. Beruntung lagi malam ini sang ayah tidak pulang, sehingga ia bisa beristirahat dengan tenang.
.
.Paginya Nadia dibuat kesal olah sang adik yang sudah berdiri di depannya dengan seragam lengkap dan tas yang ada di punggung anak itu. Matanya mengerjap polos menatap Nadia yang bersedekap dada.
"Kamu mau kemana?"
"Sekolah," jawabnya pelan.
Nadia kontan menatap intens anak yang tingginya hanya sebatas bahunya itu. "Kamu ngga liat cermin?"
Yang lebih muda mengerjap pelan, lalu tersenyum lugu. "Aku gapapa kok, pucatnya emang belum hilang aja, nanti dibawa belajar pasti hilang kok."
Nadia menatap tajam ke arah Rangga. "Ngga ada, sana ganti baju kamu," titahnya. Kemudian kembali menyibukkan diri dengan dua piring yang berisi nasi dan lauk berupa tempe goreng.
Namun bukannya pergi sesuai perintah sang kakak, Rangga malah duduk bersila menghadap meja makan kacil di depannya. "Aku mau sekolah,"
Nadia menoleh, ingin marah tetapi urung begitu menangkap raut murung adiknya. "Maafin kakak, dek," batinnya.
.
.
.
.
.
.
.
.
TBC
Revisi✔️
Cerita Rangga mungkin bakal banyak perubahan, terutama terkait karakter Rangga sendiri.
Sebelumnya aku mau bilang, kalau cerita ini ngga sebagus cerita2 yang pernah kalian baca. Aku buat ini cuman karena aku butuh nuangin ide aku yang kadang muncul, kadang tenggelam sampe bertahun-tahun.Semoga suka🤝
KAMU SEDANG MEMBACA
Where is My Family?
Roman pour Adolescents" Takdir memiliki banyak misteri untuk menemukan jalan akhir yang bahagia. " ~ Gibran Al Keenan Gavriel.