Lavida Gabby Mahera.
***
Apapun kan kulakukan demi seorang teman.Mataku mengerjap, aku terbangun dari tidur, saat secercah cahaya masuk kedalam retina menembus kelopaknya.
Aku bangkit, ku posisikan tubuhnya menjadi duduk. Ku garuk kepalaku yang terasa gatal, menggeliat layaknya orang khas bangun tidur.
Ku lirik jam yang menempel di dinding kamar, waktu menunjukan pukul 07:13. Aneh, seingat ku aku memasang alarm jam 5 tapi mengapa tidak berbunyi?.
Dengan malas aku meraih jam weker di atas nakas. Kuperhatikan jarum nya yang berhenti bergerak. Pantas saja tidak berbunyi. Jamnya saja mati.
Aku berdiri, melangkah kan kaki ke depan jendela, tanganku yang bebas, bergerak membuka tirai. Dapat kulihat matahari sudah menampakkan keperkasaanya, berada diatas bumi dengan gagah.
Sinarnya masuk menerobos jendela menerangi seluruh ruangan kamar. Kuangkat tangan kananku menutupi mata yang terasa silau dari pantulan cahaya matahari.
Kembali, ku langkahkan kaki, memunguti pakaian kotor yang berserakan dilantai lalu menaruhnya di keranjang khusus.
Kurapikan tempat tidur, setelahnya ku bersihkan kamar kost ku. Saat aku membersihkan meja belajarku, tak sengaja mataku menatap sebuah bingkai foto.
Disana Ada aku saat masih berusia lima tahun, ayah dan ibu. Kuraih foto itu, kuperhatikan semua orang yang ada di sana. Ku peluk erat foto itu, menyalurkan rasa yang selama ini terpendam, aku merindukan mereka, ayah dan ibuku.
Andai waktu bisa diulang, aku ingin kembali menikmati indahnya memiliki mereka di sisi. Sudah 10 tahun mereka meninggalkanku pergi. Membiarkan aku sendiri di dunia ini tanpa memiliki siapapun, hanya diriku sendiri, dalam sepi.
Kupejamkan mataku, merasakan setiap denyut nyeri, di ulu hati, membayangkan kedua orang tuaku yang sudah tidak mungkin lagi hadir menemani. Air mata mengalir menyusuri pipi, membentuk aliran sungai kecil disana.
Inilah perpisahan yang amat menyakitkan. Berpisah karena kematian, tak peduli seberapa besar rasa rindu, takdir tidak pernah mengizinkan untuk kembali bertemu.
Aku menghapus kasar air mataku. Harus kutunjukkan pada dunia bahwa aku bisa, aku tidak boleh menyerah, meski aku sudah tidak lagi memiliki orang tua, tapi aku yakin aku bisa. Ya aku harus kuat.
Ku Taruh kembali foto itu. Lalu beranjak kemar mandi, hanya untuk sekedar mencuci muka dan menggosok gigi. Tidak perlu mandi karena jam semakin berputar dan 30 menit lagi kelas sudah dimulai.
Selesai dari kamar mandi tanpa mandi, aku mengganti bajuku menggunakan kemeja hitam dan celana jins biru. Kuraih tas selempang dan buku paket di meja belajar, lalu berangkat ke kampus menggunakan angkot.
Namaku Lavida Gabby Mahera. Orang-orang sering mmemanggilku dengan sebutan Gabby. Aku mahasiswa universitas Nusa putra semester tiga, jangan tanya bagaimana aku bisa kuliah. Aku memang sebatang kara, tapi aku mendapat setengah beasiswa, setengah nya lagi ku bayar dengan gajiku, dan sisanya ku pakai untuk menyambung hidupku. Aku bekerja paruh waktu di sebuah kafe, menjadi vokalis untuk menghibur para pengunjung.
Turun dari angkot aku bergegas menuju ruangan teknik informatika, jam tanganku sudah menunjukkan pukul 09:00 seharusnya kelas sudah dimulai sekarang. Aku berlari tergesa, sesampainya di kelas, tidak kutemukan dosen yang mengajar. Syukurlah kelas belum dimulai.
Dan setelah kududukkan diriku di meja pojok belakang, pintu terbuka menampilkan seorang pria paruh baya, pengisi mata kuliah hari ini. Dasar pemrograman, pak Syahid namanya.
Pak Syahid langsung memulai pelajaran tanpa basa-basi, ia menulis sebuah program di papan tulis, dan kami menulisnya dibuku.
"Untuk materi kali ini, saya minta kalian jalankan contoh program ini, lalu jelaskan apa yang dilakukan dari program ini. Untuk tugas saya sudah kirim soalnya ke e-mail kalian, seperti biasa tugas dikumpulkan dalam bentuk pdf lalu kirim ke e-mail saya". Setelah mengatakan perintah itu, Pak syahid lalu keluar kelas.
Beginilah rasanya jadi mahasiswa. Semua materi 99% harus dicari sendiri, peran dosen hanya memberikan tugas, dan menilainya.
Hampir semua mahasiswa merubah posisi duduknya. "Kalau tugas dasar pemrograman kayak gini Gabby jagonya, iya kan Gab?".
Aku tersenyum kecil mendengar seruan Dion. Jika kalian kira ini sebuah pujian, kalian salah besar, ini bukanlah sebuah pujian bagiku.
"Seperti biasa Gab, kita semua nunggu hasil dari lo". Kalian dengar? Sudah aku bilang ini bukanlah pujian, aku tidak bisa menolak permintaan mereka, aku juga tidak kesal karena dengan begitu aku memiliki teman meski hanya sehari.
Aku type orang yang pendiam tidak mudah bergaul. Maka dari itu aku akan melakukan apapun agar aku bisa mempunyai teman. Aku mengangguk mengiyakannya seruan Dion.
Mata kuliah hari ini telah selesai, memang singkat, hanya menyampaikan materi yang tetap saja harus dijalankan, tak ada bedanya dengan tugas?.
Seluruh mahasiswa berhamburan keluar kelas, dan aku masih merapikan buku catatan ku. Kelas sudah kosong hanya tersisa dua orang, aku dan seorang cowok yang duduk di meja depan. Meja yang sebaris dengan mejaku.
Aku beranjak dari tempatku hendak keluar, namun tanganku tercekal begitu selangkah lagi aku berada diluar.
"Jangan mentang mentang lo pinter terus lo ngasih jawaban lo ke semua orang, gw heran sama lo, lo itu udah mahasiswa, dan lo murid beasiswa tapi lo mudah banget di begoin".
Dia Derby, cowok yang aku taksir sejak di semester satu. Setelah mengucapkan itu Derby lantas pergi meninggalkan ku. Derby, dia satu-satunya orang yang tidak pernah sekalipun meniru hasil kerja tugasku.
Ku pegangi tangan kananku yang tadi dicekal olehnya, hatiku berdegup. Ini pertama kalinya Derby berbicara padaku, meski bicaranya bisa membuat siapapun tersinggung, tapi untukku ini sebuah hal yang membuat aku bahagia, aku tidak perduli apapun yang keluar dari mulutnya, asalkan dia mau berbicara padaku, itu sudah cukup untuk menghibur hati yang sudah terlalu lama menyimpan rasa.
Maafkan aku Derby, bukannya aku so pintar, aku juga tidak pernah merasa di manfaatkan, karena seorang teman menang harus bermanfaat untuk temannya kan. Lagipula aku ingin sekali punya teman, jika aku tidak menuruti apa yang mereka mau, mereka pasti memusuhiku. Maka dari itu seperti yang aku bilang, aku harus lakukan apapun agar aku bisa mendapat teman meski hanya sehari.
Aku bisa saja tidak menuruti apa mau semua teman sekelasku. Aku tidak masalah jika semua orang memusuhi ku asal masih ada satu orang yang mau menemaniku. Dan satu satunya orang yang tidak memanfaatkan ku hanya kamu, tapi apakah kamu mau jadi temanku?. Aku rasa tidak berbicara pun hal yang sangat langka.
Bibirku terus tersenyum, cekalan Derby di tanganku, masih terasa. Akupun bergegas keluar kelas.
Sudah tidak ada lagi kegiatan kampus, aku putuskan untuk pulang, mengerjakan tugas, mengisi purut, mandi, lalu tidur, sebelum nanti malam aku harus begadang menghibur para pelanggan kafe. Mungkin hanya itu rencana ku sekarang.
Aku menunggu angkot berwarna biru, yang akan mengantarku kedepan kostan ku. Aku segera naik saat satu angkot yang tidak terlalu dipenuhi penumpang berhenti di depan ku.
Dua puluh lima menit, sampailah aku di tempat yang sudah aku tinggali sejak aku lulus SMA. Dulu setelah kepergian orang tuaku, aku tinggal bersama tetanggaku, saat itu aku masih berusia 10 tahun. Mereka memang sudi merawatku, asal aku mau membereskan seluruh pekerjaan rumah dengan sukarela. Tapi aku bersyukur masih ada yang mau mengurusku. Mereka juga mengizinkan aku sekolah, karena SD dan SMP ku gratis, saat SMA aku mendapat full beasiswa.
Aku memasuki kostan ku, dan segera menjalankan rencana yang sudah aku rancang, dalam otakku.
_____
Bersambung,,,,
Kasih komentar dong buat perkenalan di chapter pertama ini😁.
Kasih kritik di semua kesalahan ya.
Luphyu🥰
KAMU SEDANG MEMBACA
Tinggal Kenangan (Slow Going)
Romancemasih ingat lagu yang berjudul tinggal kenangan? lagu yang diyakini memiliki kisah dibalik pembuatan nya. Dan hari ini aku ingin menulis kisah itu, menurut versi yang aku suka. tapi entah untuk kebenarannya. Aku hanya ingin menulis. _____ Masih...