Awal mula

17 6 2
                                    

Suatu malam...

Ardi tengah berjalan di jalanan yang sepi. Dia masih memikirkan Hana. Sesekali ia melihat ke arah foto milik Hana di tangan nya.

"Hhh..." Ardi menghela nafas panjang. "Bagaimana caranya agar aku bisa menyaingi lelaki itu?" gumam nya.

Kakinya terus melangkah di sunyinya malam. Hanya suara jejak sepatu kulit yang menemani sekelilingnya yang gelap. Tuk.. tuk..

Kakinya berhenti pada satu titik tempat. Itu adalah sebuah toko lama yang tidak terawat. Namun, di dalamnya terdapat secercah cahaya seperti lilin yang sedang dinyalakan dari dalam. Siapa yang tinggal di toko ini? Apakah toko ini masih memiliki penghuni?

Rasa penasaran mengalahkan kekhawatiran nya. Tanpa pikir panjang Ardi melangkah mendekati toko tersebut dan mengetuk pintu dengan perlahan. Berharap seseorang membuka kan pintu dan bisa membantunya.

Tok.. tok.. tokk..

"Permisi... Apa pemilik toko ini ada disini?"

Tidak ada jawaban.

Tok.. tok.. tokkk...

Masih tidak ada jawaban.
.
.
.
.
.
BRAKKKK!
.
.
.
.
.

Seseorang dengan berprawakan keriput dan pendek membuka pintu tersebut dengan cukup keras. Ia mendongak karena tubuh bongkoknya tak mampu mencapai wajah Ardi yang hanya setinggi dadanya. Ardi merasa kaget dan juga bingung.

"Apa keperluan mu kemari, nak?" suaranya serak dan rendah. Mungkin umurnya kira kira mencapai umur 85tahunan. Bagaimana bisa seorang nenek tua membuka pintu dengan kasar seperti itu?

"A-aku kemari hanya untuk memastikan sesuatu. Nama ku, Ardi San Archopolle. Jadi, apakah nenek adalah pemilik toko ini?", Ardi menunjukkan raut wajah tanpa takut.

Mata nenek tua tersebut seperti menyipit meski umurnya cukup tua, Ardi bisa melihat mata nenek itu walau seperti sedang memejamkan matanya.  Memperhatikan Ardi dengan seksama dan teliti. Dan kemudian ia menjentikkan jarinya.

"Ternyata kau kemari untuk mampir ya? Aku bisa membantu mengatasi masalah mu. Kemarilah ayok masuk.." nenek tersebut membukakan pintunya lebar lebar.

Pandangan Ardi seketika teralihkan ke arah dalam toko itu. Meski dilihat dari luar, tapi karena ada pencahayaan Ardi tahu jika toko tersebut adalah toko para Peramal. Sangat wajar jika toko ini ditinggali oleh nenek tua seorang peramal berpengalaman.

Ardi melangkah masuk ke dalam dengan hati hati. Permukaan dinding yang agak berdebu membuat hidungnya gatal. Ardi tanpa sadar menggosok gosok hidungnya perlahan.

"Aku tahu masalah mu. Aku sudah menunggu kedatangan mu, nak" wajah keriputnya tampak tersenyum menyambut Ardi dengan hangat.

Ardi menoleh dan berkata, "Kau sudah tahu masalah ku?".

Peramal nenek itu duduk di kursi tuanya meski begitu kursi tersebut masih layak di duduki dan kokoh. Ardi masih berdiri di tempat dan memasang raut wajah bingung dengan dahi mengerut.

"Hihihi... Tentu saja, kau tahu kan jika aku ini peramal. Semuanya jelas terbaca oleh ku. Nama ku adalah Senne. Kau bisa memanggil ku Eyne jika kau mau." gurau nya.

"Kenapa?" Ardi memiringkan kepalanya.

Nenek Senne tampak berpikir, "Pertanyaan yang bagus... aku juga tidak tahu."

"..."

"Lupakan nama ku, kau kemari untuk membahas masalah mu, bukan? Kau sedang patah hati karena belum bisa mengatakan perasaanmu dan berakhir tersaingi oleh teman sekolah mu." tatapan nya serius.

"Aku tahu. Boleh aku duduk terlebih dahulu?" kaki nya tidak bisa berdiri diam cukup lama.

"Kau bisa duduk jika kau mau." singkatnya.

"..." tanpa pikir panjang Ardi langsung duduk di kursi yang berhadapan langsung dengan nenek Senne dan meja di depan mereka.

"Lalu bagaimana caranya aku mengatasi masalah ini? Aku tahu kau peramal yang hebat." sindir Ardi sedikit memuji. Tatapan mereka menyatu, saling mengintimidasi satu sama lain. Lilin yang berada di tengah meja menjadi saksi keseriusan mereka.

Senne tampak mengambil nafas sejenak. Otot tangan nya yang rapuh kini berusaha mengambil sebuah permen di kantungnya. Dengan perlahan ia menyodorkan sebuah permen kecil pada Ardi.

"... Aku hanya ingin tahu ramalan mu," tatapan nya berubah menjadi datar.

Tanpa peduli nenek Senne memakan permen tersebut. Tidak berbicara dan terus mengunyah. Hingga permen dimulutnya habis, ia kemudian mengambil bola kristal miliknya dan diletakkan ke atas meja dihadapan mereka.

Bola tersebut sangat berkilau dan anehnya berwarna cerah. Gerakkan nya seperti mendorong warna satu ke warna lainnya hingga berbaur.

"Lihat lah bola ini baik baik," ucap Senne berbisik.

Tanpa ragu Ardi melihat dengan teliti ke dalam bola tersebut. Bola itu menunjukkan sebuah scene Hana dengan lelaki yang bersamanya. Perasaan kesal dan geram muncul dalam diri Ardi. Namun, tiba tiba perasaan tersebut hilang begitu saja.

"Eh? Kenapa aku merasa tenang?," ardi masih fokus pada bola kristalnya.

"Hehehe... aku telah mengambil perasaan kesal dan iri mu dalam kelereng ini." tanpa sepengetahuan Ardi, nenek Senne dengan kekuatan nya mengendalikan kelereng yang berisi perasaan Ardi dengan mudahnya.

"K-kau adalah penyihir!," gertak ardi.

Dengan sigap Ardi berdiri dari kursinya dan menatap nenek Senna lekat lekat. Dia tahu bahwa penyihir sangat diasingkan di daerahnya karena dapat menyebabkan teror pada siapa pun. Nenek Senna mengambil tongkat kesayangannya di bawah meja.

"Benar, aku bukan hanya seorang peramal hebat tetapi aku juga seorang penyihir hebat. Tidak perlu takut umurku sudah sangat tua. Aku sudah bosan menggunakan kekuatan ku untuk membuat teror pada manusia." ucap Senna dengan tenang sambil meletakkan kelereng tadi diatas meja.

"Apakah itu benar? Kau tidak berbohong kan?"

"Aku sedang tidak ingin berbohong, nak"

"..."

Nenek Senna menunjuk ke arah kelereng dimeja. Itu sebenarnya permen berbentuk kelereng yang menyimpan perasaan atau energi manusia.

"Makan permen kelereng ini. Aku hanya memamerkan sedikit kekuatan ku. Lagipula kelereng itu bagian dari perasaan mu," ujarnya dengan suara serak yang kembali lagi. "Uhukk... aku lupa untuk memakan satu permen lagi." Nenek Senna tampak sibuk dengan kegiatan nya.

Meskipun agak kebingungan tapi kini Ardi paham arti dari semuanya. "Jadi, kau menyimpan perasaan dan kekuatan orang di dalam situ?"

Nenek Senna masih mengunyah permen yang kini ia makan lagi. Setelah habis barulah ia menjawab, "Betul, kau adalah manusia yang pandai." suaranya kembali lembut dan rendah.

"Salah satu kekuatan ku bisa mengambil dan membuat permen berisi apa yang ku ambil dari orang tersebut. Amarah, perasaan, nafsu, energi dan bahkan jiwa..." lanjut Nenek Senna. Tatapan Nenek Senna menatap ke arah Ardi. Ardi menelan ludahnya susah payah.

"... Jadi seperti itu." Ardi segera mengambil permen yang berisi perasaannya dan meneguknya langsung. Tidak ada yang terjadi. Mungkin karena aku tidak menggunakan perasaan kesal dan iri.

Nenek Senna tersenyum dengan wajah keriputnya. "Jadi apakah kau mau salah satu permen dari ku?"

Ardi menunjukkan sebuah foto milik Hana yang masih ia simpan. "Apakah kau bisa membuatkan ku permen agar aku terlihat seperti pria difoto ini?"

"..."

------------------***-----------------
Bersambung...

Jgn lupa dukungan nya ya;)

LOVE BITETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang