apakah aku terlihat buruk untuk mu Zan? semesta bertindak seolah tak ingin aku untuk selalu berada di sisimu Zan.
---
Tangan ku terhenti di salah satu surat.
"Maryam? Seperti namaku," gumam ku.
Aku tersenyum membiarkan Al-Quran itu terbuka pada halaman yang bertuliskan surat Maryam, ku tulis sebuah pesan untuk Fazan.
Zan, rasanya Aku selalu ingin berada di dekat mu. Mendengarkan tiap lantunan ayat ayat dalam Al Quran yang kau bacakan. Memperhatikan mu tiap kali kau membacanya. Menanyakan banyak hal pada mu perihal Islam.Dan melihat mu beribadah dengan sangat tenang.
Dan ternyata itu semua mempengaruhi ku Zan. Aku seperti menemukan bongkahan besar yang sudah lama hilang dan hal itu melengkapi kekosongan dalam jiwa ku Zan.
Kalau boleh ku katakan, Aku menyukaimu Zan. Sungguh, kalau kau bertanya karena apa? Tak ada satu kata pun bahkan satu huruf yang bisa menjelaskan nya.
Oh ya, esok, atau mungkin saat kita bertemu lagi di waktu senggang. Bolehkah aku meminta satu permintaan pada mu Zan?
Maryam. Aku ingin mendengarkan mu membaca Al-Quran surat Maryam. Aku ingin kau membacanya.
Eh ini bukan surat perpisahan tapi terdengar seperti itu ya? Ku harap si bukan, Ini hanya tulisan tentang jiwa seseorang.
-Maria atau mungkin Maryam.
Rasanya ingin ku mengganti namaku menjadi Maryam terdengar indah.Dan kupikir itu bukan surat perpisahan ku pada Fazan.
---
Aku tidak bersama Fazan seperti apa yang di rencanakan kemarin. Mama dan Papa yang mengetahui bahwa aku sering berbohong dan datang ke rumah itu langsung membawaku pergi saat itu juga dari kota indah ini.
Mengirimku jauh ke luar negri. Dalam waktu singkat dan sekejap semuanya terjadi begitu saja, Ponsel ku di rampas Papa jadi tak ada kesempatan untuk ku bisa menghubungi Fazan lagi.
Menangis? Gibran bahkan sudah berapa kali menenangkan ku. Aku dikirim ke Barcelona ke tempat Kak Antasya dan melanjutkan pendidikan ku disana.
"Udah kak, jangan nangis" ucap Gibran. Dia yang orang tua ku suruh untuk menemani ku pergi ke Barcelona. Saat ini aku dan dirinya tengah berada dalam pesawat.
"Gib, bahkan gue belum ngomong sama Fazan Gib!" kata ku emosional. Gibran hanya diam saja, menarik kepalaku untuk bersandar di pundaknya.
"Gue udah ngasih tau lo kak, tapi lo kerasa kepala banget," lirih Gibran pelan.
Benar aku keras kepala. Tapi dengan Fazan aku tak pernah tak merasakan rasa nyaman dan tentram yang begitu besar tak seperti saat ku bersama sahabat atau keluargaku.
Bahkan aku belum mendengarkan ia membacakan surat Maryam untuk ku.Tapi aku sudah pergi begitu saja. Dan entah kapan aku bisa mendengarnya. Aku takut. Aku takut Fazan melupakan ku.
Rasa takut, cemas, dan khawatir itu lah yang saat ini tengah membelenggu diriku.
---