Pamit.

160 21 12
                                    

Perpisahan adalah teman dari pertemuan. Tidak mungkin ada perpisahan jika tidak ada pertemuan. Pada awal pertemuan kita adalah dua orang asing, begitupun dengan perpisahan akan kembali menjadi dua orang asing. Pertemuan dan perpisahan bagaimana sepasang kekasih yang tidak bisa di pisahkan. Ketika kita bertemu, maka kita harus siap saling berpisah. Begitupun, hari ini adalah hari terakkhir aku menjadi seorang siswa SMA yang akan lulus kemudian menempuh pendidikan yang lebih tinggi.



Tidak terasa selama tiga tahun aku menjadi siswa SMA banyak cerita yang dapat aku ceritakan pada seseorang di masa depan nanti. Yang jelas, aku ingin ceritaku tetap bersamanya. Ceritaku harus tentangnya. Ceritaku harus bahagia dengannya. Namun, apalah daya, semua hanyalah rencanaku yang menginginkan ceritaku ada dirinya.



Aku hanya dapat bercerita tentang dirinya yang tidak pernah terbayangkan di benakku kalau ia akan menjadi bagian hidupku selama empat bulan lamanya. Selama empat bulan, ia menjadi kekasihku. Menjadi seseorang yang sangat istimewa untukku. Hari-hariku di penuhi dengan dirinya. Hari-hariku di penuhi dengan tawa candanya. hari-hari singkatku yang akan selalu aku kenang menjadi sebuah kisah dalam kenangan yang tidak akan pernah dapat di hapus.



Sejujurnya dalam hati kecilku, aku ingin terus bersamanya. Aku ingin ia selalu menemani hari-hari bahagiaku seperti yang pernah aku pinta padanya. Namun semuanya lagi-lagi bukan aku yang menentukan. Aku selalu berpikir kalau aku memang tidak di takdirkan untuk hidup bersama seseorang yang aku pilih untuk bahagia bersamanku. Sebenarnya tidak boleh menyalahkan takdir, tetapi aku merasa takdir tidak pernah berpihak baik padaku. Ada saja perpisahan yang menyakitkan untukku. Aku tidak egois karena aku tau itu tidak baik, tapi bolehkah saat ini aku sekali saja egois, aku ingin bersamanya selamanya.



Bolehkah Tuhan buka matanya kembali? Aku ingin melihat matanya menatapku dengan ketulusan hati dan cintanya yang selalu ia tunjukkan untukku? Aku ingin melihat senyum manisnya yang selalu membuat jantungku berdetak kencang! Aku ingin mendengar tawanya ketika ia berhasil menggodaku! Tuhan, tolong selamatkan nyawanya! Ijinkan aku hidup lebih lama dengannya! Aku hanya ingin itu, tidak lebih, Tuhan!



Baru saja kemarin aku bertemu dengannya, menghabiskan waktu bersamanya juga teman-temannya dengan tawa candanya. Kemarin aku masih bisa memeluknya, masih mendengar suaranya, masih mendengar tawanya, masih menatap mata indahnya. Tapi mengapa saat ini yang aku lihat hanyalah tubuh kakunya di atas ranjang dengan selang menancap kulitnya juga hidungnya di bantu alat untuk tetap bernafas. Tangan yang biasanya menggenggam tanganku, kini tangan ini terasa dingin dan kaku. Tidak bisakah, tangannya mengusap kepalaku sekali lagi.



Tuhan, apa di kehidupan sebelumnya aku melakukan kesalahan besar sampai-sampai menghukumku sekejam ini? Kalau memang begitu, mohon maafkan aku! Aku berjanji tidak akan melakukan kesalahan lagi. Tapi aku mohon kembalikanlah ia padaku!




"Buka matanya, please!"




Aku teringat ucapannya dua hari sebelum ia celaka. Saat itu aku dan dirinya sedang duduk di depan kelasku. Ia menatap lurus arah lapangan basket yang ada di depan kelasku.

Tinggal KenanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang