New York Akhir Tahun

1.9K 598 52
                                    

"Fan, mau ucap apa sama Madame?" tanya Laurace. Mereka menggunakan Bahasa Prancis saat bicara. Kesalahannya ada pada Tiffany. Ia pintar berbahasa Prancis, tapi tidak Bahasa Inggris.

"Terima kasih dan maaf," itu mewakilkan segalanya.

Makam itu berada diantara makam lainnya yang memiliki nisan tinggi juga patung-patung malaikat kecil di antara barisannya. Tempat peristirahatan terakhir yang menjadi pengingat bahwa yang hidup dengan berjuta keinginan, akhirnya akan berakhir dalam tujuan yang sama, kematian.

"Dua kata itu sudah mewakilkan segala yang Madame berikan padaku," ucap Tiffany. Matanya sembab menatap makam yang sudah tertata rapi. Ia baru melayat setelah dua minggu kematian Madame Berenice akibat urusan visa dan lain-lain.

Toko roti Madame sudah lama tutup. Tak ada yang meneruskan bisnisnya. Hanya resep dari toko legendaris itu, Tiffany bawa ke Indonesia dan kini berganti dengan merk Le Pain.

Ketiga jomlo itu akhirnya harus meninggalkan Madame Berenice di sana. Ia tak sendiri, suaminya ada di sampingnya. Alasan kenapa ia ingin menghabiskan masa tua di New York.

"Kamu dapat pekerjaan di mana, Laurace?" tanya Daniel. Orang barat jarang memanggil dengan singkatan nama. Biasanya hanya orang paling dekat memanggil dengan nama kecil.

"Anak perusahaan Khan & Y Grouph. Masih dalam satu perkantoran yang sama. Hanya beda-beda bidang perusahaan," jelas Laurace.

Ia pindah dari Paris ke New York demi pekerjaan yang lebih menjanjikan. Di Paris gaji juga terhitung sangat tinggi, hanya saja Laurace ingin menjejal kemampuan di Wall Street.

Di atas rerumputan makam yang mulai ditaburi bubuk putih dari langit, mereka berjalan pelan. "Kalian berapa hari di sini?" tanya Laurace.

"Seminggu sepertinya. Tiket pesawat lumayan mahal jika keberangkatan dan kepulangan berdempetan," jelas Tiffany.

Laurace menunduk. Ia ingin bermain dengan dua sahabat perjuangannya di Sorbonne dulu. Sayang, ia pegawai baru dan takut jika harus minta izin cuti. "Jalan-jalan berdua tak apa? Kita bertemu makan malam di apartemenku," ajak Laurace. Mereka tinggal di apartemen sewaan Laurce. Kamarnya memang kecil, Daniel masih bisa tidur di ruang tamu. Meski anak pejabat, ia sangat merakyat.

Terlihat raut kecewa di wajah Tiffany. "Aku ingin jalan-jalan dengan perempuan. Dia menyebalkan!" 

Khusus hari ini, Mereka bermain ke Central Park. Tempatnya dekat dengan Time Square. Bentuknya persegi panjang dan merupakan salah satu taman luas di Manhattan. Ini pertamakalinya Tiffany menginjakan kaki di Amerika. Tentu ia ingin melihat langsung bagaimana tempat-tempat yang menjadi setting dalam film-film Hollywood. 

Mereka duduk di sisi danau taman. Beralaskan rumput yang masih bertahan di awal musim dingin. Salju belum sepenuhnya turun di New York. Di sinilah tempat indah di mana mata dimanjakan dengan pemandangan kontras antara rumput, pepohonan dan ujung gedung pencakar langit di atas cakrawala. 

Taman ini memiliki banyak objek wisata. Mulai dari tempat main seluncur es, bangunan tua seperti paviliun hingga lintasan untuk jogging. Pepohonan dilindungi di taman ini. 

"Mau kacang?" tanya Laurace.

"Di sini boleh makan, kah?" tanya Tiffany. Di Bandung beberapa taman sudah diberi larangan untuk makan di sana. Alasannya tepat karena warga yang sering membuang bungkus makanan sembarangan. 

Laurace mengangguk. "Kecuali rokok dan alkohol. Paling penting, buang sampah pada tempatnya dan jangan meninggalkan remahan," jelasnya. Itu aturan yang sama seperti taman di Paris. 

"Apa kalian masih sendiri?" tanya Laurace.

Tawa Tiffany dan Daniel menggelegar. "Apa yang bisa diharapkan darinya. Masih terjebak kenangan mantan," ucap mereka bersamaan. Laurace bingung. Bagaimana pria tampan dan gadis cantik itu malah tak tertarik satu sama lain. Apa karena mantan Daniel lebih cantik dari Tiffany, atau mantan Tiffany lebih tampan dari Daniel?

"Ayolah! Kalian harus cepat menikah. Bukannya di Indonesia itu, usia menikah dua puluhan?" tanya Laurace. 

Daniel mengangguk. "Aku sedang berusaha. Beberapa wanita sudah aku dekati. Mudah-mudahan yang terakhir berhasil. Wajahnya mirip dengan Ema," jawab Daniel. 

Air danau terlihat beriak. Dingin menusuk tulang meski mantel sudah dipakai dan dilapisi dua kaos di dalam. "Aku tak yakin. Paling sudah lama dan lihat ada yang beda antara wanita itu dengan Kak Ema, kamu minta putus. Sudahlah, kamu itu memang sudah terjebak cinta mati," ejek Tiffany.

Daniel mendengkus. Ia sama sekali tak terima dengan ucapan gadis di sampingnya itu. Kaki Tiffany selonjoran. Bahkan saat mengucapkannya ia begitu santai melihat puncak salah satu gedung. Di Bandung dan Paris tak ada gedung setinggi itu. "Kita lihat saja, ya! Diantara kamu sama aku siapa yang lebih dulu nikah!" tantang Daniel.

Ucapan pria itu seakan memancing Tiffany untuk tak mau kalah. Setidaknya Tiffany merasa ia lebih normal dari Daniel, hingga lebih pas jika sampai menikah duluan. "Oke! Kita lihat saja! Aku yakin aku duluan," tegas Tiffany.

Daniel mengangkat kelingking. "Ayo buat taruhan! Siapa yang nikah duluan diantara kita, maka yang belum nikah harus mengantar sampai meja akad, " tantangnya lagi. Tak perlu berpikir panjang untuk menerima semua itu. Tiffany mengangkat kelingkingnya lalu menerima tantang Daniel.

"Siap-siap saja kamu, aku tinggalin nikah dan ngantar aku sampai meja akad," ledek Tiffany.

🍁🍁🍁

Sepatu Tanpa Pasangan (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang