Namanya Sena

8.9K 431 37
                                    

Selama ini tak pernah terlintas sedikitpun dalam benakku akan menjadi seorang guru TK. Bukan berarti aku tak suka anak-anak, aku suka, sangat suka. Tapi membayangkan ada banyak makhluk kecil berlarian dan berteriak serempak, sedikit membuat dahiku berkerut. Itu alasan pertama, alasan kedua tentu saja karena saat kuliah aku mengambil jurusan perbankan syariah yang jauh dari profesi guru TK. Jadi kupikir alasanku cukup kuat untuk tak pernah menjadi guru TK dan memang itu bukan pilihan pertama yang akan kuambil saat masuk dunia kerja.

Akan tetapi nyatanya nasib berkata lain. Semua berawal dari permintaan Annisa, sahabat semasa SMA dulu, yang memintaku membantu tantenya yang mengelola sebuah TK kecil di kecamatan. Awalnya aku menolak tentu saja, tapi karena Nisa sedikit memaksa dengan alasan tantenya sedang kebingungan mencari guru pengganti untuk satu stafnya yang cuti melahirkan dan satu lagi stafnya yang resign karena pindah kota, akhirnya aku menerima. Itupun setelah meminta pertimbangan Abah. Abah bilang, tidak ada salahnya aku membantu, selain untuk mengamalkan ilmu, aku juga sepertinya butuh kegiatan produktif setelah memutuskan resign bulan lalu.

Dan di sinilah aku, terdampar disebuah TK yang penuh anak-anak yang, subhanallah, berisik sekali. Dengan tiga kelas Nol Besar, dua kelas Nol kecil dan satu playgroup yang berisi anak-anak berumur tiga tahunan membuat sekolah kecil ini benar-benar ramai sepanjang hari. Pada akhirnya aku yang awalnya hanya berniat membantu, malah diserahi satu kelas B berisi 10 anak hiperaktif dengan pemikiran yang sangat kritis.

"Gimana Bu Muthia, betah nggak ngajar di sini?" 

Aku menoleh pada asal suara, Bu Laila guru senior yang menjadi wali kelas B1 menyapaku dengan senyumnya yang selalu terlihat sabar.

"Alhamdulillah, Bu Laila, saya sudah mulai bisa adaptasi. Ternyata mengajar anak TK butuh kesabaran ekstra, ya." 

"Namanya juga menghadapi anak-anak, Bu Muthia. Pemikiran mereka memang ajaib. Apalagi yang dipegang Bu Muthia itu kelas yang benar-benar aktif. Itu dulu kelasnya Bu Nurul yang sedang cuti melahirkan." Bu Laila tersenyum sekilas sambil tangannya tetap sibuk menggunting kertas origami berbagai warna. Kurasa itu untuk persiapan mengajar besok. Bahan untuk mengajar esok hari memang wajib diselesaikan setelah kami selesai mengajar hari sebelumnya.

"O ya? Memangnya kelas saya udah terkenal anak-anaknya agaakk..." aku menggantung kalimat, tak berani meneruskan. Tak mungkin kukatakan kalau anak-anak B2 itu nakal-nakal, bukan? Baru masuk minggu kedua mengajar, rasanya sangat tidak etis kalau aku seenaknya saja menyuarakan kesimpulanku sendiri.

Lawan bicaraku masih saja tersenyum sabar, "Yaahh  begitulah, Bu Muthia. B2 memang terkenal paling aktif diantara kelas B lainnya. Apalagi si Avisena, anak itu kadang pertanyaannya ajaib, terlalu ajaib sampai bikin ngelus dada." Bu Laila terkekeh geli sampai menghentikan aktifitasnya menggunting. 

Ingatanku melayang pada Avisena Faishal Akbar atau yang biasa dipanggil Sena oleh teman-temannya. Memang cara berpikir anak itu agak berbeda dengan yang lain, dia cerdas dan suka mengeksplor segala sesuatu. Tapi kadang membuat aku menggelengkan kepala karena pertanyaan-pertanyaannya yang -memang seperti kata Bu Laila tadi- kadang bikin sakit hati.

Sena menjadi pusat perhatianku saat hari kedua aku mengajar, dia mendekat dengan sorot mata tertarik dan melemparkan satu pertanyaan yang membuatku tercengang.

Pilihan hatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang