Raja Aldebaran tua tahu akhirnya sudah dekat. Bukan karena penyakit yang menggerogotinya dari dalam, tapi karena perasaan yang didapatnya setiap ia melihat matahari terbit. Langit timur yang bersemu kemerahan menaungi ibukota kerajaan yang dibesarkannya. Birdaun telah menjadi sebuah kota yang indah.
Raja itu merasa ia bisa tersenyum dalam matinya, jika pagi damai ini berlangsung selamanya. Ia telah melakukan apa yang bisa ia lakukan. Mengubah semua yang abu-abu menjadi warna-warni, dan itu bukan hanya karena Perayaan Adara yang sedang berlangsung.
Ia ingin membuat keadaan damai ini berlangsung selama mungkin. Tapi perang ada di depan mata, ia tahu. Kali ini bukan dirinya yang akan mengatur segalanya di barisan terdepan. Dan kali ini, perang takkan berlangsung lama. Tidak seperti dirinya, anak sulungnya memiliki kemampuan untuk mengakhiri, untuk memenangi.
Seolah mengerti kegundahan hati suaminya, Ratu Meirsha berdiri di balkon di samping sang raja. Di tangannya ada tangkai-tangkai berbagai bunga, siap untuk disusun di dalam pot. Ia turut tersenyum melihat pemandangan pagi di hadapannya.
"Apa kau merindukan dia?" Satu tangan ratu membelai punggung suaminya. "Atau mencemaskannya?"
"Memikirkannya, itu saja," kata raja. "Dia anak yang tidak pernah mengerti perasaan orang tuanya. Merindukannya? Bukankah itu dirimu, Meirsha?"
"Walaupun keputusan untuk mengirimnya berlatih di Kitala adalah benar, tapi tetap saja aku merindukannya. Semakin sering ia berselisih paham denganmu, semakin enggan ia pulang ke Birdaun," kata ratu, menghela napas. "Apalagi setelah kau memberikannya mainan baru di sana. Sejujurnya, akulah yang khawatir dan cemas."
"Bukankah kau mengerti mengapa aku memberikan putri itu pada Aran?"
Ratu bersandar pada pilar kayu balkon mereka, menata bunga-bunganya ke dalam pot.
"Aku mengerti. Kau memberikannya pada Aran, karena dialah yang paling menderita akan kehilangan Nilam. Putri itu di sana untuk menenangkannya, untuk dengan kejam memuaskannya dari dendam," Ratu Meirsha berkata pelan namun jelas. "Kau memberikannya ia adalah putra mahkota yang paling kausayangi, apapun yang kaulakukan. Tanda bahwa ialah yang akan meneruskanmu, karena kau mulai khawatir dengan perilaku keponakanmu. Hanya Aran yang berhak mendapatkan hadiah sepenting itu."
Raja melembutkan pandangannya. Ia mendekat dan membelai rambut istrinya.
"Tapi yang tidak bisa kumengerti...," sang istri mendongak. "Adalah mengapa kau meminta putri itu dari mereka. Aku bisa mengerti gejolak hati Aran yang masih belia, tapi, dirimu? Dendam, sayangku, tidak bisa membuat pagi indah ini berlangsung selamanya. Apa kau mengerti akan hal itu?"
Sang raja tidak diberi kesempatan berkata-kata. Ratu bangkit dengan pot bunga di tangannya, tersenyum ketika ia berjalan ke dalam istana, menghilang di balik tirai.
Sebuah desahan panjang keluar dari bibir raja, sementara pandangannya melayang pada panorama pagi Birdaun sekali lagi.
***
Lethia kira ia takkan diizinkan untuk melihat pemandangan Birdaun dari puncak Lapis Lazuli lagi, tapi ia salah.
Aran tampaknya telah mengerti kesungguhan Lethia kini. Ia diizinkan untuk berjalan-jalan hingga ke taman di siang hari, dengan catatan Aran atau Antares ada di sana untuk menemaninya. Ia juga diizinkan berjalan di dinding terluar seperti sekarang, walau belum semua palang besi diangkat dari pintu-pintu.
Bukan hal yang bisa Lethia keluhkan. Tidak ketika Aran ada di sampingnya kini, duduk di atas pagar bata, sitar di tangannya. Ia memainkan lagu-lagu kesukaannya dalam diam, matanya terpejam, tapi bibirnya tersenyum. Samar-samar suara ombak menjadi pengantar lagu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lapis Lazuli (COMPLETE STORY)
FantasyCOMPLETE STORY Silakan menikmati cerita ini dari awal hingga tamat! Arleth Blancia, seorang putri dari Luraxia, hanya ingin hari-hari yang damai bersama kakaknya. Aldebaran, seorang putra mahkota dari Gondvana, ingin membuktikan dirinya layak dengan...