XIV - EMPAT BELAS

106 34 1
                                    

Sehun berjalan menyusuri Sungai Han dengan langkah gontai. Di tangan, ia menggenggam sebuket bunga lili putih. Ia sama sekali tidak menyangka saat-saat ketika ia membawa bunga lili putih akan benar-benar datang.

Matanya menerawang melihat hamparan Sungai Han yang permukaannya memantulkan bayang-bayang cahaya kemeriahan pasar malam. Umumnya, orang-orang yang datang ke tempat itu berniat bersenang-senang. Namun, ia heran mengapa ia justru datang untuk berkabung.

Dadanya terasa sangat sesak. Meski telah satu tahun berlalu, kesedihannya tidak pernah berkurang sedetik pun. Bersama kesedihan itu, ia merasakan penyesalan mendalam. Setiap hari, ia tak pernah lelah berdoa pada Tuhan untuk mengembalikan kakaknya ke dunia. Namun, Tuhan tak pernah mendengarnya.

Ada banyak sekali hal yang ingin dikatakannya pada sang kakak. Ada banyak hal yang disesalinya dan ada banyak hal yang ingin ditunjukkannya. Ia bahkan belum sempat mempersembahkan kemenangan yang dijanjikannya pada sang kakak.

"Kudengar, kamu mau ikut kompetisi?" Suho berbicara sembari melarikan matanya pada barisan kalimat-kalimat dalam buku di tangannya.

"Aku akan memenangkannya, lalu mempersembahkannya untuk Hyung."

Suho tersenyum. Ia mengalihkan pandangan dari buku yang dibacanya untuk menatap Sehun. "Benarkah? Hwaiting! Aku akan datang mendukung."

Ingatan akan percakapan itu membuat dadanya sesak. Sehun berbelok dan mulai membelah Yeouido Park.

Sehun melewati kerumunan orang yang sedang menikmati makanan mereka. Sejenak pun, Sehun tidak mengalihkan pandangan pada orang-orang itu dan makanan di sekelilingnya. Ia tak mengenal siapa pun dan tak ingin mengenal siapa pun.

Ia pikir, jika kakaknya tidak ada di sana untuknya, maka ia pun tidak ingin membuat jiwanya berada di sana. Kakaknya adalah dunianya. Ketika kakaknya pergi, bergitu juga dengan dirinya.

Laki-laki itu berjalan menuju pertigaan yang sebenarnya merupakan tempat paling dihindarinya di muka bumi. Ia tidak ingin ke sana, tapi entah kenapa kakinya terus membawanya mendekat. Pohon-pohon sakura berjajar di tepi jalan seolah menjadi karpet merah untuknya.

Tiap langkah kakinya mendekat ke tempat tujuan, semakin jantungnya berdegup kencang. Ia tidak siap, selamanya tidak akan pernah siap. Meski begitu, walau perlahan kakinya tetap membawanya menuju ujung jalan. Ketika ia hanya tinggal beberapa meter dari tempat itu, matanya menangkap satu buket bunga berwarna kuning.

Sehun mengerjap. Ia sempat mematung selama beberapa saat, tetapi kemudian tanpa sadar langkahnya semakin lama semakin cepat. Ketika akhirnya sampai di sebuah pohon Sakura yang terletak paling ujung, Sehun mengambil bunga berwarna kuning itu dengan tangan gemetar. Berulang kali, ia mengembuskan napas tertahan.

Air matanya menggenang. Mendadak, darahnya berkumpul di kepala hingga membuat telinganya memerah. Ia menggenggam bunga Krisan itu erat-erat dan bersiap membanting dan menginjak-injak bunga itu. Namun, tangannya berhenti di udara.

Ia tahu siapa orang yang melakukannya. Ia tahu pasti karena dulu sangat dekat dengan laki-laki itu hingga mengetahui kebiasaannya. Tiap kali pergi ke pemakaman atau rumah duka, orang yang pernah menjadi sahabatnya itu selalu membawa bunga Krisan kuning.

Air mata Sehun menyeberangi pipi. Tangannya masih menggenggam erat bunga itu. Perlahan, ia menurunkan tangannya dan menatap bunga itu lekat-lekat. Dengan bibir gemetar, suaranya merangsak keluar dari tenggorokannya yang terasa sempit, "Damn it."

***

In Ha berlarian di depan Chanyeol dan Sejeong yang tengah duduk di rest area. Mereka berdua duduk bersisian menghadap Sungai Han. Di tangannya, Sejeong menggenggam semangkuk tteokbokki yang merupakan makanan kesukaannya.

Vanila - SejeongxSehun [Ongoing]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang