Masalah dirinya di culik Emran beberapa hari lalu dan masalah Marni sebaiknya tak Naima beberkan pada Juan. Toh Emran tidak menyakitinya, ia dikembalikan utuh ke tempat semula walau ekspresi terakhir Emran sangatlah mengganggunya. Kenapa lelaki itu malah berpaling, seakan berhadapan dengan hantu.
"Jas ini cocok untukku kan?"
"Iya."
Lagi pula saat ini Juan dalaam mode bahagia karena memakai jas baru untuk menghadapi rapat pemegang saham besok. Naima tak mau membuat senyum tunangannnya luntur di gantikan raut muka marah. Mengingat hubungan Emran dan Juan yang tidak baik setelah adu di atas ring beberapa minggu lalu.
"Aku sudah memesan jas pernikahan kita nanti, juga di sini. Bagaimana denganmu?"
"El bersedia membuatkanku gaun."
"El?El kecilmu?"
"Dia sudah dewasa dan punya dua anak."
"Hmmm... ku dengar dia menjadi desaigner terkenal, suaminya si sulung Rahardjo kan?"
Naima menganggukan kepala sembari tersenyum tipis. Juan curiga ada masalah yang Naima tengah pendam. Hubungan mereka sebenarnya tidak mengalamai kemajuan, masih berpijak pada ikatan pertemanan. Sampai kapan ini akan terjadi atau saat mereka menikah nanti hubungan keduanya akan mengalami kemajuan?
"Apa terjadi sesuatu?"
Naima terperanjat, lalu berusaha duduk sesantai mungkin. "Tidak ada apa-apa."
"Apa ada yang kamu ingin ceritakan padaku?"
Naima menimbang lama, lalu ia mulai sadar bahwa menyembunyikan kenyataan di saat hubungan mereka menuju ke pernikahan, bisa dikatakan suatu pengkhianatan. "Nampaknya kita harus berterus terang mulai dari sekarang. Beberapa hari lalu, aku di datangi seorang pria yang mengaku sebagai ayah kandungku." Ceritakan sebagian lalu sembunyikan cerita tentang Emran.
"Apa pria itu meminta uang padamu? Apa pria itu berusaha menipumu?"
"Tidak, dia tidak meminta apa pun. Dia membawa bukti yang kuat bahwa aku putrinya." Juan mendekat lalu mengusap pipi Naima. Ia tahu rasanya bagaimana. Orang kita tidak harapkan hadir tiba-tiba muncul seperti saat Juan tahu bahwa ia punya saudara lain ibu yaitu Emran. "Kamu tidak terganggu dengan persoalan ini?"
"Tentu tidak sama sekali. Siapa orang tua kandungmu bukanlah kesalahanmu, tidak ada anak yang bisa memilih di lahirkan dari orang yang seperti apa?"
"Apa kamu akan keberatan jika saat kita menikah nanti, aku mengundang ayah kandungku?"
Juan malah tersenyum lebar. "Malah aku berharap di perkenalkan dengannya sebelum hari pernikahan kita."
Itu sama dengan bencana karena Naima pertama kali ke rumah Munaf dengan Saka. "Iya itu nanti bisa di atur." Naima menyahutinya sembari tersenyum kaku.
Sebaliknya dengan keadaan Naima, Emran memilih minum di klub sebanyak mungkin untuk menghalau kenyataan yang baru diketahuinya beberapa hari lalu. Naima adalah saudaranya se-ibu dan Juan adalah saudaranya satu ayah. Lelucon macam apa ini? Kedua adiknya akan menikah, walau jika di telusuri keduanya tak terlibat hubungan darah sama sekali. Ibu Emran tidak pernah menikah. Keduanya sah-sah saja jika menjalin hubungan. Si anak papah bertemu dengan si perempuan iblis. Keduanya akan cocok dan sebaiknya rahasia ini hanya di simpan oleh dirinya saja.
Ketika Emran mengangkat gelasnya, seseorang menahan pergelangan tangannya hingga cairan yang bewarna emas kecoklatan itu tak jadi masuk ke tenggorokan. "Beraninya..."
Suara itu berhenti ketika di hadapkan dengan Gendhis. "Bang, ayo Pulang."
Emran menggeleng pelan sembari tersenyum. Gendhis terpaksa ikut duduk. Sudah lama Emran tidak minum sampai semabuk ini. Apakah pria ini tengah sedih atau terpuruk tapi karena apa. Semenjak bertemu dengan Naima, Emran tak pulang ke rumah. "Biar aku temenin abang minum."
Emran memberengut lalu meraih botol yang Gendhis angkat. Perempuan ini tak kuat minum, Emran tak mau Gendhis malah pingsan. "Pulang sana, tinggalin aku sendiri."
"Enggak, sebelum abang juga ikutan pulang." Gendhis menarik nafas ketika Emran malah melotot kepadanya. "Kenapa abang begini? Abang sudah lama sekali gak minum sampai mabuk." Keduanya terdiam lama sebab kejadian terakhir saat Emran mabuk adalah petaka untuk mereka.
Tiba-tiba tangis lirih Emran mengisi keheningan. Gendhis cukup mengenal pria ini, air mata pria itu banyak mengandung arti dan selalu di tumpahkan jika ada hubungannya dengan ibu kandung Emran. Seingatnya hari ini tidak memperingati hari kematian Marni lantas kenapa Emran menangis lalu memeluk Gendhis. "Kenapa mesti perempuan itu? Kenapa mesti perempuan itu?" Dahi Gendhis mengerut dalam, perempuan yang mana yang Emran maksudkan. Apakah semua ini ada hubungannya dnegan Naima? Gendhis menjadi cemburu sebab Emran tak pernah menangis karenanya. "Kenapa kami harus memiliki darah yang sama."
Kerutan Gendhis semakin pekat di tambah dengan mulut yang terbuka. Naima ke rumah Marni bukannya tanpa tujuan. Apa Emran dan perempuan itu ada hubungan saudara? Gendhis mendorong bahu Emran agar menghadap ke arahnya. "Apakah maksudnya Naima. Dia saudaramu? Itu alasannya bertanya tentang Marni? Bagaimana ini bisa terjadi?"
Emran menggeleng cepat. "Ini takdir gila yang Tuhan beri padaku. Belum cukupkah ia menjadikan Ferdiannt Ang sebagai ayahku? Aku memiliki saudara perempuan yaitu putri keluarga Hutomo, saudara lelakiku akan menikah dengan saudara perempuanku. Bukankah takdir yang menyenangkan? Tuhan belum cukup membuat hidupku sengsara hingga menggariskan begini!" Emran lalu terbahak-bahak walau raut mukanya nampak menderita. Gendhis sendiri tak tahu harus bagaimana. Berita ini sungguh mengejutkan, setahunya Ibu Emran Cuma punya memiliki satu orang anak. Tak pernah tercetus soal anak lain.
'Apakah kamu yakin kalau Naima adalah saudaramu? Dia tidak mengarang?"
"Aku harap begitu tapi aku tak mau mengajukan tes Dna!" Emran rasa itu tak perlu, melakukan tes sama saja membuat lubang dalam hatinya semakin menganga lebar sebab tahu jika Naima benar. "Naima juga tidak peduli dengan hubungan kami. Sebaiknya kamu menjaga rahasia ini."
Tentu saja itu akan Gendhis lakukan. "Tapi kenyataan ini ada baiknya, Kamu punya saudara dan tidak sebatang kara di dunia ini."
"Aku tidak sebatang kara, aku memilikimu sebagai keluarga." Lalu Emran memegang erat tengkuk Gendhis kemudian mendaratkan ciuman panas serta intim pada perempuan itu. Gendhis itu manis seperti madu penawar racun. Ada di setiap ia di dera kesusahan maupun mendapatkan kesenangan.
***********************
Naima telat bangun karena tidur terlalu malam, jadinya ia mungkin telat beberapa menit untuk bertemu dengan Saka. Lihatlah layar teleponnya mengedip-ngedip, menunjukkan nama si brengsek dengan huruf kapitalnya. Saka sepertinya sangat tidak sabaran. Namun ada hal yang lain agak mengganggunya kali ini, sebuah mobil van memepetnya dari tadi. Apa kali ini mau Emran?
Nqaima menepikan mobilnya, sebelum mengangkat panggilan Saka.
"Apa!" namun belum juga bicara banyak, kaca mobilnya sudah diketuk keras. Naima akan mengurusi dua pria yang menyebalkan dalam hidupnya. Dengan santai, ia membuka pintu lalu meminta pada pria kekar berpakaian hitam untuk menunggunya.
"Aku mau menelepon dulu." Sepertinya Emran mengganti anak buahnya, pria ini berbeda dengan yang kemarin. Tapi sebelum ia bisa bercakap dengan Saka, mulutnya sudah di bekap dengan sapu tangan. Naima pingsan dan tubuhnya sudah di bawa masuk ke mobil van. Sedang Saka di seberang telepon merasa panik sebab teleponnya masih tersambung namun suara Naima tidak terdengar. Firasatnya mengatakan sesuatu yang buruk telah terjadi.
*********************
Siapa yang nyulik Naima?
Jangan lupa vote dan komentarnya.