Akhirnya kami kembali melewati gerbang Torii besar berwarna merah itu lagi, menuju hutan hujan tropis yang menghadap ke jurang. Kak Gita langsung berjalan menjauh dan duduk di atas salah satu dahan pohon besar terdekat——seolah memberi tahu bahwa dia bukan orang yang akan mengajari kami——atau mungkin itu hanya tebakanku saja.
Febri berdiri menjulang di hadapan kami sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana drawstring pants abu-abu gelap yang membentuk kakinya. "Sebelumnya, aku ingin mengetahui sejauh mana pengetahuan kalian tentang kepemilikan, iblis, dan makhluk berdarah dingin."
Tristan dan Nova langsung mendorongku. Lantas aku berbalik ke arah mereka sambil mengangkat sebelah alis. Seolah berkata, "Apa maksudnya itu?"
"Aku takut salah bicara," bisik Tristan.
==."Cucu paling cerdas," bisik Nova, yang mengutip kata-kata Kakek Ali.
Kuputar mataku dengan malas. Bukankah kita ini sahabat yang harus menjalani semua lika-liku kehidupan bersama-sama? Kenapa di saat seperti ini mereka malah kompak menjadikanku sebagai tumbal?
"Eu... ehem." Aku mencoba membuat nada suaraku nyaman. "Kami hanya mengetahui sedikit, Feb. Bang Ahad tidak menjelaskan itu secara jelas."
"Jelaskan," suruhnya. "Sepenangkapmu saja."
Lalu aku menjelaskan apa yang aku ketahui tentang kepemilikan, iblis, dan makhluk berdarah dingin yang pernah sedikit dijelaskan oleh Bang Ahad. Dengan catatan: sepenangkapku saja.
"Baik, sudah cukup," katanya, tepat ketika aku berhenti berbicara. "Kita tidak akan membahas tentang hal itu sekarang."
Mataku terbelalak. Sungguh menyebalkan.
"Sekarang kita akan mempelajari tentang 'cara membuat portal ke angkasa lain'," jelasnya. "Atau nama kerennya teleportasi." Kadang lucu juga, mendengar apa yang Febri katakan bertolak belakang dengan ekspresi wajah yang sedang dia perlihatkan. "Apa kalian pernah dengar tentang Angkasa?"
"Angkasa itu langit, kan?" tanya Tristan, seraya melirikku.
"Iya," jawabnya. "Tapi bukan Angkasa itu yang sedang kita bahas sekarang."
Nova yang awalnya melipat tangannya di depan dada langsung menggaruk rambut keritingnya. "Sudahlah, Bang. Tidak perlu berbelit-belit. Langsung saja jelaskan, agar kami tidak terlihat seperti orang bodoh."
Febri pun menjelaskannya, "Dunia yang sedang kita pijak saat ini adalah Angkasa Ketiga. Sedangkan dunia yang kita tinggali, yang kita sebut sebagai 'dunia nyata', adalah Angkasa Kelima."
Kami bertiga mengerutkan alis seperti sedang berpikir——sebenarnya memang sedang berpikir, seolah berkata, "Hah?! Apa maksudnya?"
Namun aku memiliki sebuah opini bahwa, mungkin, dunia yang Febri maksud adalah dunia paralel. Dan mungkin, Tristan pun memiliki pemikiran yang sama. Karena dia bertanya, "Mirip dunia paralel di novel-novel atau film-film?"
"Tidak," balas Febri. "Angkasa Pertama dan Angkasa-Angkasa lainnya tidak saling terikat seperti dunia paralel. Bahkan bentuk, ukuran, dan waktu yang terjadi di dalamnya pun berbeda-beda. Tidak sama seperti dunia paralel yang di dalamnya terdapat beberapa unsur yang sama."
Kami bertiga mengangguk-anggukkan kepala untuk merespon perkataan Febri, sambil membentuk huruf O dengan mulut. Itu cukup menjelaskan kenapa waktu di sini dan dunia nyata (Angkasa Kelima) berbeda.
"Angkasa itu terbagi menjadi tujuh. Dan mereka semua saling bertumpuk, dimulai dari Angksa Pertama sampai Angkasa Ketujuh," jelas Febri. "Apa kalian pernah mendengar sebuah ayat yang berbunyi, 'Tuhan menciptakan tujuh langit yang berlapis-lapis. Dan Dia memberikan setiap langit urusannya masing-masing'?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Aran Alali #1: Hujan Darah Iblis
Fantasy[SELESAI] [FANTASI] [13+] "Aku pikir, hidupku normal seperti remaja empat belas tahun lainnya. Hanya memusingkan tentang pacaran, jerawat, bermain, dan sebagainya. Tapi, hidupku lebih daripada itu." Aran, seorang remaja yang kehidupnya seketika ber...