11 ~ Makan Pikiran

443 77 5
                                    

Berusaha mengikhlaskan meski sulit.
Berusaha menerima meski sakit.
Sebab saat takdir sudah berkata, kita bisa apa?
Mencoba kuat, tabah, dan menjalani sisa hidup dengan baik.

(L.K)

🍁🍁🍁

Rintik hujan mulai berjatuhan lagi setelah beberapa saat yang lalu mereda. Rintik yang beradu dengan atap seng di sekitar pemakaman menyamarkan percakapan dari dua lelaki berbeda usia.

Rashanggara Ardana atau yang biasa disapa Dana di lingkungan keluarga, dan dipanggil Pak Ardan saat di tempat kerja masih duduk di depan gundukan basah bertabur bunga.

Nisan bertuliskan nama sang ibu terus saja dipandangi dalam diam. Sudah lebih dari sepuluh menit berlalu, Biru dan Endra sang kakak ipar masih setia menunggui. Endra jongkok dan duduk sejajar dengan Ardan.

"Di sini rasanya sakit! Sakit banget sampai Dana nggak bisa napas, Mas!" ujar Ardan sambil menepuk dadanya dengan keras.

Biru berbalik dan memunggungi Ardan dan Endra. Mata gelapnya mulai berkaca-kaca. Dia tak kuasa melihat rekan kerja yang belakangan terakhir ini bersamanya terpuruk dengan keadaan yang tidak terduga.

Takdir begitu hebat mempermainkan perannya. Saat mereka yang baik-baik saja ternyata harus pergi begitu cepat, ternyata menyisakan sakit dan penerimaan yang teramat berat.

"Dan, jangan seperti ini. Ikhlaskan Ibu, Dek. Lepaskan dengan hati lapang! Ada Ayah dan Mbak Dina yang sudah menunggu kamu pulang, Dek!"

"Mas Dan, ayo pulang! Kasihan Mbak Dina dari tadi nangis terus." Biru turut membujuk Ardan.

"Kalau kita pulang Ibu sendirian di sini, Mas. Ini hujannya deras, Ibu bakal kedinginan. Di sana pasti gelap," jawab Ardan sembari menatap nanar nisan putih dengan tulisan berwarna hitam itu.

Biru dan Endra memilih untuk diam dan mengikuti kemauan Ardan. Sementara itu beberapa teman sekolah sudah kembali dan hanya tersisa beberapa kerabat dekat saja yang masih tinggal membereskan peralatan yang tersisa.

Kedua lelaki itu akhirnya bisa membawa pulang Ardan. Mereka terpaksa pulang karena kondisi Ardan yang sudah tidak sadarkan diri. Kelelahan, dehidrasi, dan shock membuatnya tumbang di depan makam ibunya.

"Mas Dan, saya pulang dulu. Kalaupun mengikhlaskan itu berat, setidaknya Mas Dan harus bisa melepas Ibu. Setidaknya Mas Dan harus ingat bahwa Allah masih menitipkan satu lagi malaikat yang harus dijaga, ada Ayah yang harus Mas jaga." Biru menjulurkan tangannya dan memberi tepukan pada lengan Ardan untuk menguatkannya.

"Makasih, Pak Biru. Minta tolong sampaikan permintaan maaf saya pada teman-teman karena tidak bisa menemui dan mengucapkan terima kasih pada mereka," balas Ardan sambil bersandar pada kepala ranjang.

"Nggak apa-apa. Mas Dan istirahat dulu, hari-hari ke depan masih panjang. Demi Ibu, Mas."

Ardan mengangguk, tetapi ternyata teman-temannya dari SMAPSA memasuki kamar secara bergantian untuk berpamitan sekaligus mengucapkan turut berduka padanya.

Mereka pulang meninggalkan rumah dengan tenda yang terpasang di halaman itu dengan wajah yang sama-sama suram. Banyak pikiran yang melintas di setiap kepala. Rata-rata mereka memposisikan diri bagaimana jika harus kehilangan begitu cepat.

Biru akhirnya memenangkan perdebatannya dengan Pak Jo dan Pak Aris. Kedua temannya ini ngotot supaya Biru diantarkan sampai rumah. Namun, Biru memaksa dan teguh pendirian dia akan pulang dengan selamat.

"Pokoknya kalau sudah sampai di rumah wajib foto selfie sama orang rumah," pinta Pak Jo.

"Ngapain, Pak? Saya jarang seperti itu, Pak. Kalau fotoin pintu rumah saya, gimana?"

Memiliki Kehilangan ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang