| Chapter 2 |
Sekali lagi, Caya memeriksa penampilannya lewat cermin besar di dinding kamar. Kali ini rambut sebahunya sengaja diikat untuk melengkapi gaya berpakaiannya. Caya mengecek jam. Waktu untuknya bersiap-siap seperti ini kurang lebih empat puluh menit. Menurutnya, empat puluh menit itu tidak terlalu lama.
“Tante, dandannya yang cepet, dong! Kasian, tuh, Bang Gean udah nungguin!” Teriakkan menggelegar serta suara ketukan pintu itu membuat Caya mendecih.
Itu Caraka. Kurang ajar memang. Kalimat yang keluar dari mulut Aka selalu tidak mengenakkan. Lagi pula, ini bukan urusannya. Toh, Gean sudah tahu kalau Caya akan membutuhkan waktu yang lama untuk berdandan.
“Tante, poles gincunya jangan tebel-tebel, ya! Nanti banyak om-om ganjen yang lirik!” teriak Aka untuk kedua kalinya. Setelahnya, terdengar kikikan dari luar pintu kamar Caya dan langkah yang menjauh.
Untung Caya sedang dalam mode sabar. Tenang saja, kelakuan Aka barusan akan dibalas dikemudian hari dengan pembalasan yang luar biasa.
Caya meraih tas selempang yang sudah disiapkan di atas tempat tidur. Setelah selesai memakai sepatu kets putihnya, Caya segera keluar kamar. Kakinya menginjak satu per satu anak tangga hingga sampai di ruang tamu. Tampak siluet seseorang yang sedang duduk membelakanginya.
“Yuk, berangkat,” ujar Caya pada siluet itu.
Gean mendongak. Tersenyum saat melihat penampilan Caya dari atas hingga bawah. Ia pun berdiri. “Hebat, ya, lo bisa sabar ngadepin si Aka,” kekehnya.
Helaan napas keluar dari hidung Caya. “Yah... gue udah terbiasa.”
Baru ingin melangkah keluar, denting ponsel membuat Caya berhenti sejenak. Diraihnya ponsel dari dalam tas. Kemudian, membuka notifikasi yang muncul di layar persegi kecil tersebut. Pesan dari satu akun di Instagram.
Susaninjani_
Selamat pagi.
Saya Susan Injani. Sebelumnya maaf mengganggu, saya hanya ingin menyampaikan perintah dari Pak Presiden.
Mbak Cayara dan teman-teman yang tiga tahun lalu memecahkan sejarah tentang Komarudin, kini diminta Pak Presiden untuk menemui beliau di Istana.
Dimohon segera memberitahu jika sudah membaca pesan ini.
Terima kasih.“Apa, sih?” gumam Caya. Kesal mendapati pesan yang tak jelas seperti itu. Begini-begini juga Caya populer di media sosial. Pengikutnya sudah ada seratus ribu lebih. Terkadang-kadang Caya mendapat endors. Ini semua berkat sejarah tiga tahun lalu. Bersyukurlah pada Komarudin yang sudah memberikan sejarah kelam itu.
Gean yang penasaran, ikut melirik diam-diam. “Orang iseng palingan. Eh, tapi, dia bawa-bawa nama presiden, lho, Ca. Apa mungkin beneran orang suruhan presiden?”
“Orang iseng,” balas Caya sembari memasuki kembali ponsel ke dalam tas. “Udah, yuk, ah. Nanti keburu panas.”
Mereka sudah berpamitan pada Mamanya Caya, Dena. Omong-omong, Caya dan Gean itu tidak pacaran. Mereka berdua hanya saling percaya tanpa ikatan apa pun—kecuali pertemanan. Aneh, bukan? Tapi, seperti itu adanya. Ide “saling percaya” ini pun sebenarnya mereka tiru dari hubungan Mala dan Rajit.
Saling percaya. Saling berkomitmen. Hingga nanti ke jenjang pernikahan. Itu pemikiran Gean. Dia akan terus melekat pada Caya. Tak peduli apa pun yang terjadi. Kalau orang sudah bucin, apa pun akan dilakukan, bukan?
“Gue dapet pesen yang sama kayak lo, Ca.” Tiba-tiba Gean bersuara. Langkahnya terhenti di samping kursi teras rumah. Ia mengarahkan layar ponselnya pada Caya setelah membaca pesannya.
Dahi Caya mengerut. Sejenak sepasang matanya bertubrukan dengan manik biru Gean. “Tapi, akunnya beda.”
Gean menekan nama akun yang tertera hingga menampilkan isi akun tersebut. “Randi Marfiz,” ejanya. Kemudian, jarinya bergerak ke atas perlahan-lahan. “Foto yang diunggah cuma tiga doang. Pengikutnya juga nggak terlalu banyak. Tapi, di salah satu foto, dia selca sama bapak-bapak pakai jas.”
KAMU SEDANG MEMBACA
The Lost History; S-156 [Book 2]✔
FantasiHilangnya Buku S-156 dari Istana membuat mereka kembali mengalami petualangan gila untuk yang kedua kalinya. |•| [The Lost Series; Book 2 : S-156] Misi untuk menemukan buku yang hilang malah membuat Caya dan teman-temannya bertemu dengan satu makhl...